TEMPO.CO, Jakarta - Liburan telah usai namun anak malas kembali ke sekolah. Psikolog anak, remaja, dan keluarga Rosdiana Setyaningrum mengingatkan orang tua tak mengabaikan kondisi ini bila menemukan tanda-tanda anak enggan ke sekolah setelah masa liburan.
"Kalau dia enggan sekali, harusnya orang tua mesti cari tahu ada apa. Kemungkinan besar ada apa-apa di sekolah yang membuat dia enggak senang ke sekolah," kata psikolog lulusan Universitas Indonesia itu.
Ia mengatakan biasanya anak-anak akan merasa semangat kembali ke sekolah karena menunggu momen bertemu serta bertukar cerita dengan teman-teman. Jika anak memang tidak memiliki masalah terkait sekolah, ia mencatat keengganan yang dialami anak paling tidak hanya sekadar malas bangun pagi.
Ia pun menyarankan orang tua dapat mengingatkan anak-anak mengenai kesenangan-kesenangan dan aktivitas-aktivitas yang disukai jika bersekolah. Jika anak tetap enggan, orang tua perlu mencari tahu alasan atau penyebab, misalnya membuka pembicaraan dengan pihak sekolah hingga berkonsultasi dengan psikolog.
"Apakah misalnya ada pelajaran-pelajaran yang dia takuti, mengalami bully, apakah misalnya di rumah terlalu di-protect lalu dimanjain jadinya kurang mandiri sehingga ada di sekolah sendiri itu tidak menyenangkan buat dia. Kita harus lihat lagi alasannya kenapa," paparnya.
Kurang istirahat
Rosdiana mengatakan jika rutinitas harian seperti waktu bangun tidur, makan, dan durasi istirahat tidak berubah signifikan selama masa liburan, seharusnya anak akan tetap baik-baik saja ketika liburan berakhir. Dalam kasus yang kerap ia temui, terkadang beberapa anak justru kurang mendapatkan istirahat yang cukup selama liburan karena memiliki tuntutan untuk tetap belajar atau mengikuti les tertentu. Hal ini bisa membuat anak merasa enggan untuk kembali ke sekolah setelah liburan.
"Kalau mereka ada les dan lesnya itu melelahkan secara fisik dan liburannya lelah secara fisik, misalnya hiking, ada baiknya saat seminggu pertama sekolah, enggak usah les dulu. Jadi, supaya badannya adjust dulu," ujarnya.
Anak juga bisa saja mengalami post-vacation blues. Akan tetapi, kondisi itu biasanya akan hilang seiring dengan kembalinya rutinitas sehari-hari. Namun post-vacation blues biasanya terjadi karena masa liburan yang terlalu panjang hingga beberapa bulan. Jika kondisi ini terus dialami anak, orang tua diminta untuk merefleksikan kembali kondisi anak selama liburan berlangsung, apakah menikmati masa liburan atau justru merasa cemas hingga depresi.
"Itu yang harus kita perhatikan. Pokoknya anak-anak, kalau misalnya ada sesuatu yang kelihatannya berbeda itu kita harus aware," lanjut Rosdiana.
Yang tak kalah penting, orang tua juga harus menyiapkan diri sendiri sebelum dan sesudah masa liburan. Jangan sampai orang tua yang justru merasa enggan untuk kembali bekerja atau melakukan aktivitas rutin sehingga anak mungkin saja menangkap energi tersebutdan ikut-ikutan malas.
"Harus siap sebelum liburan atau sebelum masuk lagi ke pekerjaan atau ke rutinitas. Kalau tanpa sadar orang tuanya mengeluh, anak-anak jadinya juga kayak menangkap ‘Oh, enggak enak, ya’," kata Rosdiana.