TEMPO.CO, Jakarta - Stereotipe maskulinitas yang menilai laki-laki sebagai sosok kuat dan tangguh membuat korban pelecehan seksual memilih untuk bungkam, bahkan takut melaporkan kasusnya.
"(Laki-laki) diasumsikan seperti itu sehingga ketika mengalami pelecehan, masyarakat menganggap enggak mungkin ada, harusnya laki-laki itu melawan balik," kata psikolog klinis dewasa Nirmala Ika Kusumaningrum
Nirmala menjelaskan stereotipe gender tersebut sebetulnya dibentuk oleh masyarakat. Padahal, laki-laki juga tetap manusia biasa yang bisa merasa takut dan cemas apabila mengalami pelecehan, bahkan kekerasan seksual. Stereotipe laki-laki harus kuat, yang diamini masyarakat, dapat membuat stigma pada korban pelecehan seksual menjadi lebih berat. Laki-laki yang mengalami pelecehan pun akhirnya memilih bungkam dan tidak berani melaporkan kasusnya.
"Di negara-negara yang cenderung masih lebih konvensional atau pemikirannya patriarki, pembedaan peran gender masih didikotomikan antara maskulin dan feminin. Itu tentu semakin sulit untuk laki-laki andai mengalami pelecehan untuk melaporkan," jelas lulusan Universitas Indonesia itu.
Psikolog sekaligus Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia IstaniaDF Iskandar, mengatakan budaya dengan kecenderungan menyalahkan korban yang sudah terjadi di masyarakat juga membuat korban pelecehan seksual dalam posisi semakin dirugikan.
"Pada laki-laki yang mengalami kekerasan seksual, bebannya menjadi lebih berat, label negatifnya itu karena ada sterotipe di masyarakat kalau misalnya laki-laki itu bukan korban tetapi kebanyakan pelaku," ujar Livia.
Ia menilai laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual lebih sulit mengungkapkan peristiwa yang dialami karena mungkin ada rasa takut dengan anggapan masyarakat tentang korban, apalagi laki-laki dewasa yang dianggap bisa membela diri. Menurut Livia, laki-laki dewasa yang memohon perlindungan kepada LPSK untuk melanjutkan kasusnya ke ranah hukum juga sangat minim. Stigma yang masih langgeng di masyarakat kemungkinan membuat korban laki-laki enggan menindaklanjuti kasus pelecehan seksual yang dialami.
Trauma terpendam
Sementara itu, Nirmala mengatakan sebagai psikolog dia kerap menemukan trauma yang terpendam akibat pelecehan seksual saat laki-laki tersebut melakukan sesi konseling pada usia dewasa atau dalam rentang waktu yang cukup lama dari saat peristiwa pelecehan itu terjadi.
"Mereka baru datang dan awalnya bukan untuk urusan itu, biasanya datang untuk hal yang lain, misalnya relasi dengan pasangan atau orientasi seksual, atau apapun. Dan dalam proses, akhirnya ketahuan bahwa mereka pernah mengalami pelecehan dan itu buat mereka masih membekas," papar Nirmala.
Ia pun mengingatkan pentingnya masyarakat untuk belajar menerima bahwa pelecehan dan kekerasan seksual memang terjadi, bahkan laki-laki juga dapat menjadi korban. Selain itu, penting pula untuk senantiasa belajar mendengarkan dan mempercayai korban terlebih dulu serta belajar membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada di lingkungan sekitar.
"Kita perlu bersama-sama mencegah itu, bukannya ketika ada yang melapor kita kasih stigma. Cegah bareng-bareng karena kalau didiamkan terus, justru semakin besar. Pada akhirnya, yang tidak aman kita sendiri sebenarnya," tandas Nirmala.
Pilihan Editor: Korban Pelecehan Seksual Perlu Mendapat Kepercayaan, Psikolog Beri Alasan