TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis paru Erlina Burhan menyebut kualitas udara buruk di Jakarta juga dapat berdampak jelek pada kesehatan paru. Sejumlah penyakit seperti infeksi saluran pernapasan dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) lebih rentan terjadi saat kualitas udara buruk
"Bagi yang sudah memiliki riwayat asma, kualitas udara yang buruk bisa menjadi pemicu asma kambuh lagi," katanya.
Karena itu, dia mengimbau masyarakat tidak ke luar rumah jika tidak terlalu perlu, terutama saat kualitas udara sedang buruk, yang dapat dicek sewaktu-waktu melalui internet. Selain itu, dia juga meminta masyarakat tetap memakai masker untuk meminimalisasi dampak buruk polusi udara.
"Kita tidak dapat melarang orang lain maka kita juga perlu menjaga diri sendiri," tutur dokter di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Jakarta tersebut.
Menurutnya, dengan membiasakan diri menggunakan transportasi publik dapat memperbaiki kualitas udara menjadi lebih layak lagi. "Seharusnya dengan transportasi publik yang bagus dan prima orang akan beralih, jadi tidak pakai transportasi sendiri," ujarnya.
Dengan berkurangnya jumlah kendaraan pribadi, Erlina mengatakan polusi udara juga akan berkurang. Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan polusi yang diciptakan oleh industri.
"Barangkali kondisinya sekarang ada motor roda dua, kita tidak bisa melihat ini bagus atau tidak. Maka uji emisi juga harus lebih rutin digalakkan," tegasnya.
Waspadai long COVID
Erlina juga mengimbau untuk mewaspadai kondisi pasca-COVID-19 atau yang dikenal sebagai long COVID."Long COVID benar adanya. Sampai saat ini banyak pasien saya yang datang mengeluhkan gejala tersebut," katanya.
Ia mengatakan gejala long COVID merupakan hal yang tak terduga dan hingga kini masih dipelajari cara mengatasinya. Meski demikian, dia menyebut para dokter telah mengetahui gejala itu dapat diobati secara multidisiplin karena gejalanya berbeda-beda. Dia mengungkapkan gejala yang biasanya dialami beragam, seperti sesak, nyeri dada, pusing, dan perasaan lupa tiba-tiba.
"Sampai sekarang masih diteliti, hal apa yang bisa meminimalisir long COVID," ujarnya.
Dia menjelaskan kondisi long COVID memiliki waktu pengobatan yang berbeda-beda. "Berdasarkan literatur, ada yang tiga bulan, enam bulan, bahkan hingga satu tahun. Ada yang ringan tapi hanya satu atau dua orang," tuturnya.
Dia menyebutkan kondisi long COVID lebih rentan terjadi pada pasien yang memiliki komorbid, lansia, atau penyintas COVID-19 yang memiliki gejala berat sebelumnya. Menurutnya, vaksinasi COVID-19 yang tidak lengkap memiliki kaitan dengan gejala long COVID meski secara tidak langsung.
"Adanya vaksin bisa membuat serangan COVID-19 menjadi tidak berat maka berarti ada hubungan tidak langsung," tandasnya.
Pilihan Editor: Awas, Memasak Terlalu Lama Sebabkan Polusi Udara