TEMPO.CO, Jakarta - Urban farming kini menjadi gaya hidup pilihan banyak warga perkotaan, termasuk generasi muda. Kementerian PPN/Bappenas menyebut urban farming atau pertanian di perkotaan bisa menjadi alternatif menjaga ketahanan pangan yang berkelanjutan di masa depan.
“Urban farming memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga melalui pengembangan hasil produksinya,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam.
Ia menuturkan setiap komoditas cara berkebun ini dikelola dengan baik akan menghasilkan produksi dalam jumlah yang lebih tinggi. Hal ini dipastikan dapat memperluas basis ekonomi di perkotaan melalui peningkatan aktivitas kewirausahaan dan menambah jumlah wiraswasta serta lapangan pekerjaan melalui proses produksi hingga pemasaran produk pangan hasil urban farming.
Pendeknya rantai pasokan pangan karena dekatnya jarak produsen dan konsumen juga mampu mengurangi harga bahan pangan tersebut. Kemudian, dengan konsep pemanfaatan lahan yang terbatas, urban farming akan mendorong masyarakat memiliki kebun individu maupun yang dikelola bersama sehingga mampu menyediakan perkebunan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan kelompok.
Bagi yang mau memulainya, ada berbagai metode budi daya, di antaranya hidroponik yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media tanam untuk menanam sawi hijau, kangkung, dan pakcoy. Ada juga metode vertikultur yang memanfaatkan paralon atau bambu untuk sayur-sayuran seperti bayam, kangkung, kucai, sawi, selada, dan seledri yang tidak butuh tumbuh tegak.
“Dengan adanya urban farming individu atau keluarga juga dapat menghemat uang yang digunakan untuk membeli bahan pangan,” tuturnya.
Isu ketahanan pangan
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Mukhammad Faisol Amir, menyatakan bahwa urban farming yang ada di Jakarta merupakan indikasi kesadaran masyarakat urban akan isu ketahanan pangan. Meski belum melihat kegiatan itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hijau dalam dampak besar, urban farming tetap memberikan dampak positif, terutama terkait kesadaran praktik-praktik pertanian berkelanjutan dan mendorong pemanfaatan teknologi dalam intensifikasi di lahan yang minim.
Urban farming dinilai bisa membuka akses terhadap pangan yang murah, berkualitas dan bergizi, terutama untuk masyarakat dengan penghasilan rendah di perkotaan. Kepala Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian Jakarta Selatan, Hasudungan A. Sidabalok, membenarkan masyarakat perkotaan kini mulai melakukan urban farming untuk menjamin ketersediaan pangan terjaga akibat lahan pertanian yang mulai berkurang sebab metode pengembangan urban farming menghasilkan ketersediaan sayuran sebagai sumber nutrisi, menghijaukan lingkungan, dan membantu mengurangi dampak pemanasan global.
Ketua Karang Taruna Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, La Ode Hardian, menambahkan dari segi ketahanan pangan, urban farming mampu memenuhi konsumsi sayur mayur dasar keluarga. Urban farming juga bisa menjaga kebutuhan gizi anak jadi lebih baik. Menanam sayur bisa dijadikan aset masa depan untuk keluarga yang berkualitas. Misalnya kangkung, pakcoy, dan bayam seperti yang ia kembangkan dengan metode hidroponik. Dengan terus merawat tanaman tersebut, sayuran yang tumbuh dengan sehat dapat dijual di swalayan atau masyarakat sekitar untuk menambah penghasilan sehari-hari.
Pilihan Editor: Menjaga Kesehatan Mental dengan Berkebun atau Merawat Tanaman