TEMPO.CO, Jakarta - Polusi udara terus menghantui Jakarta dan sekitarnya dan sudah muncul dampak pada kesehatan. Oleh karena itu, penanganan yang paling tepat yakni mengidentifikasi faktor penyebab dan segera mengatasinya dengan tindakan yang berdampak nyata tanpa perlu terlalu mengorbankan masyarakat.
Selain penanganan di hulu, yang utama perlu ada pelayanan di hilir tentang kesehatan masyarakat. Direktur Program Pascasarjana Universitas YARSI, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, mengusulkan tujuh langkah untuk bisa dilaksanakan di puskesmas, terutama di Jakarta. Pertama, aktifkan perlengkapan untuk sanitasi yang ada di puskesmas untuk menilai kualitas udara setempat.
"Jadi, akan ada data polusi per kecamatan dan bahkan per kelurahan walaupun mungkin kualitas udara tidak lengkap sempurna," tuturnya.
Selanjutnya, aktifkan kegiatan practical approach on lung health (PAL) atau pendekatan praktis terkait kesehatan paru yang digagas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena akan amat berperan dalam deteksi, evaluasi, dan tindakan kesehatan paru di lapangan.
"Saya kira puskesmas di Jakarta dan sekitarnya sudah mengenal PAL, tinggal mengaktifkannya saja," kata Tjandra.
Ketiga, menjaga dan menindaklanjuti surveilans keluhan respirasi dan lainnya, baik dalam gedung puskesmas, di lapangan wilayah kerja, maupun oleh kader kesehatan kalau memang data menunjukkan tren peningkatan. Keempat, meningkatkan promosi kesehatan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), baik tentang berbagai kemungkinan dampak kesehatan maupun akses informasi polutan setempat. Kelima, untuk pasien-pasien penyakit kronis yang biasanya ditangani puskesmas maka diberi perhatian khusus.
"Kalau mungkin dikontak untuk tanya keadaannya, telemedisin, atau diminta datang ke puskesmas atau dilakukan kunjungan rumah," saran Tjandra.
Keenam, apabila ada peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan lainnya maka puskesmas diharapkan memberi pengobatan yang baik. Bila perlu diberi rujukan ke rumah sakit umum daerah atau rumah sakit lain. Terakhir, sebaiknya semua puskesmas membuat semacam pojok polusi yang dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang berbagai aspek polusi udara di wilayahnya.
Wisata ruang terbuka
Tjandra mengatakan ruang terbuka hijau bisa menjadi pilihan baik lokasi wisata, terutama bagi yang biasa beraktivitas di lingkungan dengan polusi udara.
"Kalau berada di ruang terbuka hijau yang luas tentu akan lebih menyegarkan daripada berada di tengah perempatan yang penuh kemacetan. Jadi, baik saja kalau memang akan ke kebun raya dan lainnya," ujar Tjandra.
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu mengingatkan orang tetap harus memeriksa kadar polusi di ruang terbuka hijau yang akan dikunjungi. Secara umum, keberadaan ruang terbuka hijau akan dapat menurunkan kadar polusi udara tetapi tergantung berapa besar ruang itu dan berapa tinggi polusi yang sudah terjadi.
"Tentu juga tidak ada patokan pasti kalau kadar polutan di kebun raya adalah sekian maka sekian lama harus berada di ruang terbuka atau tidak," ujar penasihat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Jakarta itu.
Pilihan Editor: Tingkatkan Ketepatan Diagnosa Kanker dengan Tata Laksana Multidisiplin