Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perundungan: Menurut Studi Kian Populer Sebagai Kajian Otak, Mengapa?

image-gnews
Ilustrasi persekusi, bullying. Shutterstock
Ilustrasi persekusi, bullying. Shutterstock
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Polres Tangerang Selatan berencana melakukan pemeriksaan psikologi terhadap korban perundungan siswa Binus School Serpong di Jalan Jelupang Raya, Kecamatan Serpong Utara, Kota Tangerang Selatan. Mereka juga akan nencari bukti-bukti serta saksi dalam kasus tersebut. 

Belakangan beredar sebuah video di berbagai macam media sosial yang menampilkan terdapat sekelompok orang tengah melakukan pem-bully-an. Hal tersebut diketahui terjadi di sebuah gang sempit tepatnya di warung yang berada tidak jauh dari sekolah Binus School Serpong. 

Dr. Helen Reiss dalam Psychology Today menjelaskan bahwa kita dilahirkan dengan rasa empati. Empati merupakan kapasitas bawaan kita untuk mengenali apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan orang lain. Empati adalah kemampuan kita untuk berjalan di posisi oleh lain, melihat dunia dari sudut pandang mereka, dan merasakan penderitaan mereka. 

Empati sangat penting untuk interaksi sosial dan peluang kita mendapatkan keselamatan serta kelangsungan hidup dengan tinggal dalam komunitas. Penelitian menunjukkan, empati terwujud dalam dua cara berlawanan yang berdampak pada perilaku kita, yakni sikap peduli atau kejam. Dan ilmu otak telah mempelajari peran kunci empati dalam perilaku kasar. 

Sementara penindasan merupakan kebalikannya. Itu bisa menyebabkan rasa sakit, memecah belah orang, serta mempermalukan dan menyampaikan pesan kepada target bahwa mereka bukan bagiannya. Penindasan tidak mengakui ikatan kemanusiaan kita yang penting. Sebaliknya, hal tersebut tidak manusiawi. 

Para penindas dan pelaku kekerasan menggunakan empati untuk menjalin ikatan dengan komunitas, sekaligus menargetkan korban dengan kekejaman. Lantas bagaimana orang bisa menjadi "empati penindas"? Bagaimana seseorang dapat berempati sekaligus kasar? 

Empati bukanlah satu sistem otak, tetapi dua 

Ahli saraf Dr. Simon Baron-Cohen memberikan jawaban mengerikan terhadap perpecahan antara penindas dan empati dalam penelitian dan karyanya. Dia dan rekan-rekannya menyebut mereka yang menyakiti orang lain sebagai "Nol-Negatif" dalam spektrum empati. Mereka yang Nol-Negatif bisa mencakup individu yang didiagnosis sebagai orang yang berada di ambang batas, narsistik, dan psikopat.

Kesamaan yang dimiliki orang-orang itu dari sudut pandang ilmu saraf ialah sirkuit empati yang sangat tidak aktif. Otak mereka berperilaku tidak lazim ketika memeriksa sepuluh wilayah interaktif sirkuit empati. Saat peneliti melihat secara terpisah pada dua sistem empati dalam sirkuit tersebut, mereka yang merugikan orang lain hanya punya satu sistem empati yang utuh dan sistem empati lainnya terkikis.

Penelitian Baron-Cohen memberikan jawaban atas fakta membingungkan bahwa mereka yang melakukan intimidasi dan pelecehan tampaknya juga memiliki empati. Pelaku intimidasi atau pelaku kekerasan sadar bahwa mereka menyebabkan kerugian dan mereka termotivasi untuk menutupinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika pelaku intimidasi atau individu yang melakukan kekerasan, termasuk perundungan dilaporkan atau dihadapkan dengan kerugian yang mereka timbulkan, mereka akan menyangkal hal itu. Mereka juga akan menyerukan kepada orang yang mereka perlakukan dengan baik dan memberikan keuntungan untuk menjamin mereka.

Dan seorang psikopat punya empati kognitif yang utuh tapi empati efektifnya berkurang. Dengan kata lain, seorang psikopat yang berbohong, menganiaya, merugikan orang lain dengan berbagai cara, dan tidak memperdulikannya sama sekali, memiliki otak dengan empati afektif yang terkikis. Empati afektif sendiri adalah bagaimana kita merasakan penderitaan orang lain. Kita bisa melihat kepedihan mereka, mendengarnya, dan benar-benar mengalaminya.

Jika Anda melihat seseorang memotong tangannya, kemungkinan besar Anda akan bereaksi secara fisik, baik mundur atau meringis. Namun psikopat tidak merasakan sakit orang lain. Karena mereka kekurangan empati afektif. Tetapi mereka masih mempunyai akses terhadap empati kognitif. Ini memberi mereka keunggulan karena dapat membaca orang lain.

Dengan cara yang dingin dan penuh perhitungan, mereka bisa berpikir dengan sangat cerdik tentang apa yang dipikirkan seseorang, emosi yang mereka miliki, dan niat apa yang mereka rencanakan. Psikopat, tanpa reaksi afektif seperti penyesalan, rasa bersalah, dan kesedihan, menggunakan wawasan kognitif mereka untuk menciptakan pengikut serta menghancurkan target.

Di akhir bukunya The Science of Evil, Baron-Cohen menegaskan empati adalah sumber daya paling berharga di dunia. Hilangnya empati memang rumit, tapi lingkungan memainkan peran sangat besar. Maka mengetahui betapa pentingnya kedua sistem empati kita (afektif dan kognitif) bagi semua individu, komunitas, dan dunia membuat kita menyadari betapa kita perlu berinvestasi di dalamnya. 

Karena otak yang memanfaatkan empati terhadap kekejaman merupakan sumber hal yang berlawanan dengan intuisi. Faktanya, kita biasanya menganggap seseorang yang berempati sama sekali tidak mampu menindas orang lain. Kita berpikir empati seharusnya menghentikan kita dari penindasan. Namun hal tersebut juga dapat memfasilitasi penganiayaan. 

PUSPITA AMANDA SARI | M. IQBAL
Pilihan editor: Riwayat Geng GT Pelaku Bullying di SMA Binus Serpong Sudah 9 Generasi dan Bermarkas di Warung

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


60 Persen Lulusan BINUS School Serpong Diterima di Kampus Luar Negeri

1 hari lalu

60 Persen Lulusan BINUS School Serpong Diterima di Kampus Luar Negeri

BINUS SCHOOL Serpong, sekolah yang mengusung kurikulum Cambridge, mencatat lebih dari 60 alumni mereka di tahun 2024 ini diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri.


BINUS University Kukuhkan Prof. Ngatindriatun Sebagai Guru Besar, Gagas Smart Farming 5.0

10 hari lalu

BINUS University Kukuhkan Prof. Ngatindriatun Sebagai Guru Besar, Gagas Smart Farming 5.0

Kegiatan tridharma perguruan tinggi dalam ketahanan pangan khususnya pengembangan Smart Farming 5.0 harus menyatukan keilmuan multidisipliner klaster ekonomi, pertanian dan teknik.


BINUS University Enam Kali Raih Global MIKE Award

24 hari lalu

BINUS University Enam Kali Raih Global MIKE Award

BINUS University kembali meraih penghargaan Global Most Innovative Knowledge Enterprise (MIKE) 2023 yang ke-6 kalinya berturut-turut sejak 2018


Binus dan NYP Siap Gelar TFSCALE di Dua Negara

26 hari lalu

Binus dan NYP Siap Gelar TFSCALE di Dua Negara

Mahasiswa yang jadi peserta berkesempatan mempraktikkan hasil pelajaran di kampus untuk mencari ide brilian mengatasi permasalahan sampah.


Momentum Kebaikan Buka Puasa Bersama Binus Senayan

31 hari lalu

Momentum Kebaikan Buka Puasa Bersama Binus Senayan

Buka Puasa Bersama BINUS sebagai wujud kepedulian dan kebersamaan.


Proses Diversi Kasus Bullying di Binus School Serpong Gagal, Keluarga Korban Pilih Dilanjutkan ke Proses Hukum

40 hari lalu

Suasana di depan sekolah internasional Binus School Serpong pasca viralnya berita  perundungan di antara siswanya di Tangerang, Banten, Rabu, 21 Februari 2024. Pihak sekolah memastikan seluruh siswa yang terlibat kasus perundungan oleh geng pelajar Binus sudah dikeluarkan dari sekolah. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Proses Diversi Kasus Bullying di Binus School Serpong Gagal, Keluarga Korban Pilih Dilanjutkan ke Proses Hukum

Keluarga anak korban bullying geng pelajar Binus School Serpong enggan berdamai. Mereka tetap akan melanjutkan kasus ke proses hukum.


KPAI Terima 141 Aduan Kekerasan Anak Sepanjang Awal 2024, 35 Persen Terjadi di Sekolah

47 hari lalu

Ilustrasi persekusi, bullying. Shutterstock
KPAI Terima 141 Aduan Kekerasan Anak Sepanjang Awal 2024, 35 Persen Terjadi di Sekolah

Sepanjang awal 2024, KPAI mencatat ada 46 kasus anak mengakhiri hidup akibat kekerasan anak, yang hampir separuhnya terjadi di satuan pendidikan.


Kuasa Hukum Korban Perundungan Geng Tai Binus School Serpong Minta 4 Pelaku Segera Ditahan

49 hari lalu

Geng Tai Binus School Serpong Beri Keuntungan ke Anggota: dari Uang Parkir hingga Derajat Dinaikkan
Kuasa Hukum Korban Perundungan Geng Tai Binus School Serpong Minta 4 Pelaku Segera Ditahan

Kuasa hukum korban perundungan Geng Tai SMA Binus School Serpong meminta agar empat tersangka segara ditahan.


Sudah Ada 9 Generasi, Aksi Perundungan di Geng Tai Muncul Sejak 4 Tahun Terakhir

49 hari lalu

Binus School Serpong. Tempo/Muhammad Iqbal
Sudah Ada 9 Generasi, Aksi Perundungan di Geng Tai Muncul Sejak 4 Tahun Terakhir

Aksi perundungan Geng Tai di Binus School Serpong sudah terjadi sejak empat tahun lalu.


Kasus Bullying Binus School, Korban Ingin Bergabung ke Geng GT untuk Dapat Tempat Parkir

51 hari lalu

Binus School Serpong. Tempo/Muhammad Iqbal
Kasus Bullying Binus School, Korban Ingin Bergabung ke Geng GT untuk Dapat Tempat Parkir

Polres Tangerang Selatan menetapkan delapan anak berhadapan dengan hukum (ABH) dan empat orang tersangka dalam kasus bullying di Binus School Serpong.