TEMPO.CO, Jakarta - Di kelurahan Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, perusahaan cokelat berlabel Monggo mendirikan pabriknya. Puluhan pekerjanya semua perempuan, karena dianggap lebih peka dan telaten dalam mengolah cokelat. "Cokelat tak bisa diperlakukan sembarangan," kata Asisten Kepala Produksi Cokelat Monggo, Fitri Fatimah, saat ditemui di kantornya pada Rabu pekan lalu.
Cokelat Monggo didirikan oleh Thierry Deltourney asal Belgia. Ia menamakan produk cokelatnya dengan kata "Monggo" yang berarti silakan dalam bahasa Jawa. Adapun yang mengurus kualitas rasa adalah ahli cokelat dari Belgia. Bahan cokelat Monggo diambil sepenuhnya dari para petani skala kecil di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Timur. Dari para petani itu bahan baku diambil dalam bentuk setengah jadi atau remahan.
Ini berbeda dengan Pipiltin Cocoa. Kedai cokelat yang berlokasi di Barito dan Senopati, Jakarta Selatan, ini mengolah sendiri biji kakaonya. Biji kakao itu diambil dari kelompok petani kecil di Tabanan (Bali), Banyuwangi (Jawa Timur), dan Pidie Jaya (Aceh), tiga bulan sekali sekitar satu ton. (baca: Produksi Kakao Nasional Belum Mencukupi)
Hanya, menemukan kelompok petani ini bukan perkara gampang. Sebab, kakak-beradik pemilik Pipiltin Cocoa, Irvan Helmi dan Tissa Auliani, ingin biji kakao yang mereka dapati sudah melalui proses fermentasi. "Sulit karena kebanyakan petani kita tidak melakukan fermentasi," kata Irvan saat ditemui di Barito, Rabu pekan lalu. Dengan proses fermentasi, yang bisa berlangsung selama lima hari, biji kakao akan menghasilkan cokelat bercitarasa kuat dan lebih asam.
Meski sulit, apa yang diperjuangkan Irvan dan Tissa berbuah manis. Pipiltin yang baru dibuka pada 2013 lalu kian ramai pengunjung. "Saya belum bisa bicara soal pendapatan karena umur usaha masih baru. Tapi, makin banyak orang datang ke sini," ujar Irvan, yang juga bos kedai kopi Anomali.
Resep keberhasilan Pipiltin dalam waktu singkat terletak pada kualitas dan cara penyajian cokelat. Berbeda dengan kebanyakan produk sejenis di pasar, Pipiltin mengolah biji kakao yang sudah difermentasi dengan menggunakan mentega cokelat (cocoa butter). Bahan itu membuat cokelat lebih mudah meleleh di tubuh dan menimbulkan rasa hangat.
Untuk rasanya, olahan Pipiltin membuat ketagihan dan bebas eneg, dengan cokelat yang cenderung pahit dan legit sekaligus. Ini, kata Tissa, adalah rasa asli cokelat yang tidak terlalu banyak dicampuri gula, susu, maupun krim.
Sedangkan cokelat Monggo punya sembilan belas varian, mulai dari yang biasa, seperti kacang mete dan almond, sampai yang unik, seperti jahe, manisan mangga, pala, kayu manis, dan cabai. Kadar cokelat Monggo pun bervariasi, mulai dari 41-76 persen. "Semakin tinggi kadarnya, rasa cokelat akan semakin pahit," kata Juru Bicara Monggo, Asridha S. Dina. Persentase cokelat juga dipakai untuk produk Pipiltin, yakni berkisar antara 38-84 persen.
Menurut Tissa, konsumen kini lebih peduli pada cokelat yang mereka makan. Apalagi jika tahu bahan cokelatnya berasal dari Indonesia. Tak hanya itu, konsumen juga makin tertarik untuk mengetahui sejarah dan pembuatan cokelat yang mereka santap.
Itu sebabnya Tissa menyediakan fasilitas tur sejarah cokelat Bean to Bar, blind testing, kelas memasak Be A Chocolate Maker, dan mengadakan festival cokelat di Pipiltin. Tujuannya, kata Tissa, agar orang Indonesia makin sayang pada cokelat lokal. (baca juga: Benarkah Rasa Cokelat Ditentukan Bentuknya?)
ISMA SAVITRI | SHINTA MAHARANI
Terpopuler:
Kamar Mandi Ini Bisa Bernyanyi
Teh Hijau Lokal Juga Bisa Mencegah HIV
Interior Kantor Gereja Ini Dirancang Ceria
Menangkal Kanker dengan Teh Hijau Lokal
Tetap Sehat Saat Liburan
Obat Tulang, Tekan Risiko Kanker
Resep Gingerbread, Hantaran Manis untuk Natal
Masakan Rumahan di Galeri Seni Kolonial