Sejak Agustus tahun lalu, pasangan ini sepakat mengadopsi Fauzi, yang berusia 19 tahun dan kuliah di semester IV. "Keputusan kami mengadopsi anak pada usia remaja karena kami berdua sama-sama tidak lagi muda, sibuk, dan tak memungkinkan mengasuh anak kecil," katanya ketika ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kebetulan Endah berteman akrab dengan mama Fauzi, yang mengalami kesulitan mendidik putranya. Endah bercerita, setelah suami temannya itu meninggal dalam tugas sebagai pilot, Fauzi, yang merupakan anak kesayangan, terguncang hebat. Dia berubah sikap, dari anak manis dan penurut menjadi anak yang suka dugem, nongkrong di klub, dan berpacaran dengan wanita seusia mamanya.
Endah, yang secara pribadi sangat mengenal Fauzi, mengaku sedih. Dia merasa prihatin dan mengutarakan niatnya mengadopsi anak itu. Sahabatnya itu setuju karena merasa sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Mamanya mengharapkan, siapa tahu denganku Fauzi kembali menjadi anak baik," tutur Endah.
Apalagi Endah dan suami tidak asing dengan dunia remaja karena mereka juga penulis skenario sinetron dan film remaja. Namun, pada awalnya, ini bukanlah hal yang mudah. Sikap Fauzi yang sudah terbius oleh kenikmatan hidup dalam kegemerlapan membuainya dan terlelap. "Tapi aku dan Rio sepakat memposisikan diri sebagai teman untuk memahami perilaku Fauzi," ucapnya.
Strategi itu sungguh jitu dan menuai hasil positif. Pelan-pelan Fauzi akhirnya berubah menjadi anak manis. "Dia tak lagi suka ke klub atau berdisko. Bahkan dia memutuskan cintanya dengan wanita sebaya mamanya. Syukurlah, aku dan Rio bahagia," Endah berucap lega.
Lain lagi dengan pasangan Anjar dan Siska, yang sudah menikah 10 tahun serta belum dikaruniai keturunan. Setahun lalu, mereka mengadopsi Runi, remaja berusia 15 tahun. "Ayahnya mempercayakan Runi kepada kami karena Runi sangat nakal dan tidak mau sekolah," kata Anjar.
Lagi-lagi melalui sikap dan pendekatan memposisikan diri sebagai teman, Runi berubah menjadi anak manis. "Runi sudah mau ke sekolah dan menjadi anak penurut," Anjar menambahkan. Mereka berhasil mengubah Runi karena tahu dan memahami alasan mengapa Runi bersikap menjadi anak nakal dan malas.
"Mungkin aku dan Siska membuatnya merasa nyaman, sehingga dia percaya untuk menyampaikan kegundahannya selama ini. Kami berdua seperti teman bagi Runi, makanya dia sangat percaya," tutur Anjar.
Menurut psikolog Retno Pudjiati, mengadopsi anak usia remaja harus mengacu pada alasan dan prinsip-prinsip mengapa harus melakukan adopsi. Sebab, kebutuhan setiap orang tua yang melakukan adopsi bermacam-macam. "Yang pertama harus diingat (adalah) prinsip dasar tadi. Kemudian bagaimana metode dan proses pelaksanaan adopsi akan diarahkan ke mana," kata dia.
Dalam kondisi keluarga masa kini yang semakin kompleks, tentunya mereka menerapkan aturan main pada adopsi anak, berapa pun usia anak itu. "Mungkin ada benarnya juga mengadopsi anak usia remaja dengan memposisikan diri sebagai teman bisa menjadi tolak ukur keberhasilan. Meski demikian, sekali lagi esensinya bukan faktor itu semata, tapi sangat holistik," tutur Retno.
Yang jelas, menurut Retno, mengangkat atau mengadopsi anak, baik sejak usia dini, balita, anak-anak, maupun remaja, pasti ada banyak pernik ini-itu. "Yang wajib diingat, mengadopsi anak itu harus mampu memberikan hak-hak yang dibutuhkan seorang anak." | HADRIANI P