TEMPO.CO, Surabaya – Kampanye hitam terhadap industri jamu dan obat herbal membuat masyarakat kurang menggemari jamu. Masyarakat masih menganggap jamu memberikan efek samping bagi kesehatan, seperti pengendapan kandungan pada ginjal.
“Tidak ada teori (mengendap) seperti itu. Kita sehari-hari makan sayur-sayuran, itu kan juga herbal. Apakah kemudian jadi cepat meninggal dunia?” kata ahli naturopati yang juga seorang dokter, Dr dr Amarullah H. Siregar, saat menjadi pembicara seminar herbal di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Sabtu, 30 Mei 2015.
Amarullah menegaskan dibandingkan dengan obat farmasi, jamu adalah yang paling aman. Meski terdapat kemungkinan adverse reaction atau reaksi yang tidak dikehendaki, jamu tetap tidak berbahaya. “Memang tidak semua orang cocok dengan jamu maupun obat herbal, tetapi tidak berbahaya. Belum ada kajian ilmiah yang mengatakan jamu berbahaya,” kata dia.
Jamu, kata Amarullah, memiliki filosofi bak air mengalir. Ia akan mengirim khasiat ke organ yang membutuhkan saja, sementara organ yang tidak membutuhkan tidak akan dimasuki. " Bila ada kelebihan, tubuh manusia secara otomatis membuangnya melalui saluran pembuangan. Tidak akan tersimpan," kata Amarullah.
Kampanye hitam itu menyudutkan industri jamu dan obat herbal. Namun pelaku industri rumahan juga yang menyebabkan kampanye hitam menguat di kalangan masyarakat. Tak sedikit oknum yang nakal mencampur produksi jamunya dengan bahan-bahan kimiawi berbahaya. “Industri rumahan kita juga salah karena mencampurkan jamu dengan obat kimiawi agar reaksinya cepat. Seperti antalgin, bahkan steroid.”
Penyebab lain, masyarakat masih terbelenggu paradigma bahwa minum obat lebih manjur daripada jamu. “Orang-orang terbiasa makan obat, maunya instan,” tuturnya.
Untuk itu pemerintah berupaya menggencarkan saintifikasi jamu melalui regulasi pemakaian obat herbal, yakni Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 1109 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Selain itu, ada pula Kepmenkes Nomor 12 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Herbal dan Kepmenkes Nomor 3 Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.
Edy Djauhari dari Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor mengatakan saintifikasi jamu harus didukung oleh para tenaga kesehatan. “Kami sudah melakukan nota kesepahaman dengan 25 fakultas kedokteran di Indonesia untuk itu,” ujarnya.
Ia merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 mengenai saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Dalam Permenkes itu disebutkan bahwa jamu yang aman, bermutu, dan bermanfaat hasil saintifikasi dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
ARTIKA RACHMI FARMITA