TEMPO.CO , Jakarta:Manusia kerap menguap saat letih, mengantuk, atau bosan. Seringkali kita hanya ikut-ikutan menguap saat berada di dekat atau melihat orang lain menguap. Hal ini berhubungan dengan empati dan keterikatan emosional karena manusia adalah makhluk sosial. Efek “menguap yang menular” juga ditemukan pada mamalia yang memiliki kemampuan sosial seperti simpanse dan anjing.
Efek menguap yang menular itu ternyata tak mempengaruhi orang yang memiliki karakter psikopat. Seorang psikopat biasanya memiliki gaya hidup antisosial seperti egois, manipulatif, impulsif, tak kenal takut, selalu ingin mendominasi dan tak punya empati. Temuan ini didapat lewat studi yang melibatkan 135 responden. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal daring Personality and Individual Differences.
Brian Rundle, peneliti psikologi dan saraf di Baylor College of Arts dan Science, mengatakan orang bisa menguap meski mereka sebenarnya tak memerlukannya. “Jika menguap itu berhubungan dengan empati, kupikir para psikopat tak bakal terpengaruh. Jadi aku melakukan tes untuk itu,” kata Rundle seperti ditulis Sciencedaily, 20 Agustus 2015.
Dalam tes itu, para responden menjalani tes psikologi standar untuk menentukan derajat empati dan tingkat impulsif. Setelah itu para responden yang juga pelajar Baylor diberikan beberapa video pendek berisi gerakan mimik wajah seperti menguap, tertawa, atau netral. Saat melihat video itu para responden mengenakan headphone kedap suara, dan beberapa elektroda dipasang di wajah mereka.
Tes itu menunjukkan frekuensi menguap ternyata dipengaruhi oleh tingkat empati yang dimiliki seseorang. Semakin sedikit tingkat empati, maka semakin kecil peluang untuk “tertular” menguap. Namun, Rundle mengatakan orang yang tidak ikut menguap tidak serta-merta divonis sebagai psikopat. “Banyak orang yang tak terpengaruh saat ada yang menguap karena mungkin tidak punya koneksi empati padanya,” kata Rundle.
Tes itu bisa menunjukkan gambaran bagaimana psikopat bereaksi pada aktivitas menguap. Rundle mengatakan psikopat jelas tak memiliki empati dan perasaan terhadap orang lain. “Ketika mereka tak terpengaruh aktivitas menguap seperti orang pada umumnya, mengindikasikan mekanisme yang terlibat dalam proses pengembangan empati tak berfungsi normal,” katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA | SCIENCEDAILY | BAYLOR