TEMPO.CO, Jakarta - Kasus dugaan malapraktik Klinik Kesehatan Chiropractic berbuntut panjang. Dinas Kesehatan DKI Jakarta lantas menutup sedikitnya 15 klinik yang diduga tidak memiliki izin praktik. Beberapa tenaga kesehatan asing dan lokal juga diamankan karena dinilai tidak memenuhi standar.
Kasus itu menjadi perhatian publik karena kesehatan adalah persoalan nyawa seseorang. Untuk itu, muncul beberapa pertanyaan, mengapa para dokter asing begitu mudah membuka praktik di Tanah Air? Benarkah mereka tenaga kerja ilegal? Lebih tajam lagi, sejauh mana kesiapan dokter Indonesia bersaing pada era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Ketua Purna Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidin menuturkan, praktik dokter asing di Indonesia sejatinya sudah berlangsung lama. Para dokter asing itu dengan mudah membuka layanan kesehatan di pusat perbelanjaan, hotel, dan tempat keramaian lainnya.
“Dengan mudah mereka menawarkan produk, seperti permen saja. Sayangnya, mentalitas masyarakat kita juga masih menganggap dokter asing itu lebih berkualitas dari dokter lokal,” ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (20 Januari 2016).
Zaenal mengatakan, jika praktik serupa dilakukan oleh dokter Indonesia, maka IDI akan bersuara keras tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan untuk tenaga dokter asing. Pasalnya, pengaturan dokter asing merupakan wewenang regulator.
Adapun, sejatinya dari sisi regulasi pengaturan terkait dengan dokter asing sudah cukup lengkap seperti Undang-undang No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan No.67/2013 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing.
Akan tetapi, dari sisi pengawasan masih terasa minim jika berkaca dari banyak kasus yang melibatkan tenaga dokter asing yang tidak memiliki lisensi praktik. Pada UU No.36/2014 pasal 54, misalnya, menyebutkan tenaga kerja asing yang hendak menjalankan praktik di Tanah Air wajib mengikuti evaluasi kompetensi.
Guna mengikuti kompetensi, tenaga asing harus melengkapi semua dokumen yang dibutuhkan seperti keabsahan ijazah, penilaian kemampuan melakukan praktik, dan keterangan kesehatan fisik dan mental.
Di sisi lain, IDI juga tidak sepakat jika MEA dengan perdagangan bebasnya diterapkan pada sektor kesehatan. Pasalnya, jaminan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab negara dan tidak layak diserahkan kepada mekanisme pasar semata.
Dari cara pandang kesehatan sebagai industri, maka kehadiran tenaga kerja asing di Tanah Air pada akhirnya ialah untuk keuntungan semata. Dengan sokongan modal, dukungan pemerintah dan infrastruktur lainnya, tenaga asing akan dengan mudah masuk Nusantara.
Indonesia akan menjadi pasar yang potensial karena memiliki wilayah yang paling luas dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Padahal, jaminan kesehatan seperti diamanatkan undang-undang adalah tanggung jawab negara atau dengan kata lain tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar.
“MEA itu seperti sebuah pertandingan. Mungkin ada yang mengatakan secara personal sangat siap menghadapi MEA, namun sebagai kesatuan gimana? Standar rumah sakit mungkin akan ditentukan oleh Singapura dan negara lain harus mengikuti standar itu.”
Hal senada disampaikan Ketua Biro Hukum dan Pembelaan Anggota PB IDI H.N. Nazar. Dia berpendapat saat ini bukan waktu yang tepat untuk menerapkan MEA karena banyak persoalan teknis yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Negara lain seperti Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Laos juga belum sepakat dengan program MEA pada bidang kesehatan.
“IDI tidak menentang MEA, kami tidak sepakat dengan pelaksanaan MEA sekarang khususnya segi tenaga kesehatan, terutama dokter. Kami sudah lama mengurus anak negeri, tetapi program MEA itu bukan pertukaran satu berbanding satu, ada banyak hal di belakangnya termasuk asuransi.”