Orang Gila Kerja Dianggap Keren, Setuju?
Reporter
Diko Oktara Achmad Yani
Editor
Mitra Tarigan
Senin, 30 April 2018 05:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ira Putri, 27 tahun, bercerita tentang pekerjaannya di bagian human capital pada suatu perusahaan di Jakarta. Ia merasa pekerjaannya itu menyenangkan dan membuatnya berkembang sebagai pribadi. Ira biasa bekerja selama total 15 jam sehari, dan itu dilakukannya baik di kantor maupun di luar kantor. Jam kerja di kantornya sebenarnya hanya 8 jam sehari. Kendati begitu, ia merasa senang dan ikhlas dalam bekerja. "Jika sudah merasakan berkembang, enak sekali. Untuk berkembang, kepala memang sakit," katanya, dua pekan lalu.
Menurut Ira, jam kerja berlebih seperti itu cukup melelahkan. Namun karena ia senang mengerjakannya dan mengerti cara mengelolanya, ia merasa tak ada masalah berarti. "Saya bisa saja pulang cepat, tapi sampai rumah bekerja lagi." Baca: Suka Menjajal Kuliner Super Pedas? Simak Dulu Saran Ahli Gizi
Fenomena gila kerja juga terjadi di Amerika Serikat seperti yang pernah dilansir Forbes. Sebanyak 94 persen pekerja di sana bekerja lebih dari 50 jam per pekan, dan ini tergambar dalam survei yang dilakukan Harvard Business School pada tahun lalu. Media itu mencatat bekerja tak kenal waktu itu sebagai gaya hidup baru para pekerja di sana.
Michael Blanding, dalam esainya yang dimuat dalam situs Harvard Business School pada tahun lalu, mengutip sebuah studi yang ditulis oleh Anat Keinan bersama Silvia Bellezza dan Neeru Paharia. Studi itu menunjukkan bahwa gaya hidup sibuk sudah menjadi simbol status aspirasional di kalangan masyarakat Amerika Serikat. Baca: Tak Hanya Kim Jong Un, 5 Kepala Negara Ini pun Punya Aturan Unik
Media sosial bahkan menjadi ajang "memamerkan" kesibukan itu. Era mengeluh karena mendapat seabrek pekerjaan tampaknya sudah lewat. Orang yang sibuk kerap dianggap memiliki status sosial lebih tinggi. Jadi, memamerkan status sibuk dan kerja sampai lembur itu seolah-olah menjadi kebutuhan untuk diakui lingkungan.
Salah satu tes yang dilakukan adalah membuat unggahan di Facebook dari pekerja bernama Sally Fisher. Mereka lalu menunjukkan tiap status yang dibuat Sally yang berisi dua hal, yaitu kesibukan supernya dalam bekerja dan kesibukannya mengerjakan hal di luar pekerjaan. Hasilnya, 300 partisipan memandang Sally, yang super-sibuk, punya status sosial yang lebih tinggi dan memiliki keadaan sosial-ekonomi yang lebih baik.
Ira secara sadar mengakui dirinya seorang yang gemar bekerja. Hal ini ia lakukan demi kepuasan diri. Keluarga yang juga gemar bekerja keras menjadi satu hal yang mempengaruhinya.
Kendati tak merasa diburu pekerjaan, Ira mengaku sering sekali mengecek e-mail, bahkan ketika sedang berkumpul dengan temannya. Di tempat nongkrong itu, ia sering merasa tidak enak kepada teman-temannya atas aktivitas "menyatroni" e-mail itu. Baca: Gila Kerja Anak Muda, Tidak Hanya di Amerika Serikat
Pola kerja seperti itu mengganggu kesehatannya. Ira pernah merasa depresi akibat masalah dari kehidupan personal dan pekerjaannya. Hal itu ia rasakan selama tiga bulan, bahkan sampai membuat dirinya menggunakan obat penenang.
Senada dengan Ira, Metta, 26 tahun, juga pernah merasa terganggu kesehatan mentalnya. Metta, yang berprofesi sebagai editor video di salah satu perusahaan swasta, pernah merasakan kondisi mudah marah dan menangis akibat pekerjaannya. Sistem kerja bergilir atau shift membuatnya harus bekerja pada giliran malam sampai pagi keesokan harinya. Itu membuat kesehatannya terganggu.
Metta kemudian mengeluh ke atasannya dan dipindahkan ke shift pagi. Meski merasa senang, nyatanya ia harus bekerja lebih dari 8 jam sehari di shift ini. Setidaknya dua kali dalam seminggu Metta pasti akan lembur sampai 7 jam dari waktu seharusnya. "Waktu tidur 3-4 jam, kadang 2 jam saja," katanya, dua pekan lalu. Baca: Benarkah Karbohidrat itu Jahat? Ini Kata Kata Dokter
Kendati sering merasakan tekanan hebat, Metta merasa apa yang dikerjakannya sekarang bagaikan mimpi karena bisa mengedit video dari sebuah program yang sudah ditontonnya sejak kecil. Hal ini membuatnya berpikir untuk bertahan di kantornya karena merasa sudah mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. "Kalaupun pindah kerja, karena gaji, bukan sistem kerja."
Baginya, bekerja lebih adalah tanggung jawab masing-masing orang karena sebenarnya jika pekerjaan sudah selesai, tidak ada masalah untuk pulang. Hanya, terkadang datang revisi yang membuatnya harus bekerja lebih dari waktu yang seharusnya. Ia melihat beban kerja seperti yang dialaminya juga dirasakan rekan kerjanya yang lain. Baca: Kelainan Genetik Langka Anak Joanna Alexandra, Ini Kata Dokter
Selain revisi, terkadang bahan yang harus ia edit baru masuk sekitar pukul 15:00, padahal beberapa jam kemudian jam kerjanya sudah berakhir. Akhirnya ia pun bekerja lebih dari waktu seharusnya. Menurut Metta, pola kerja seperti ini sudah jelas mengganggu waktu tidurnya. Namun ia tidak merasakan gangguan itu pada kehidupan personalnya. Ia mengaku masih bisa menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan pribadi.
Metta melihat orang yang bekerja lebih adalah seseorang yang memiliki kinerja baik. Ia melihat seorang seniornya bekerja dari pukul 9 pagi sampai 10 malam, dan yang dikerjakan adalah proyek-proyek penting.