TEMPO.CO, Jakarta - Ira Putri, 27 tahun, sesekali tertawa lepas. Sembari menyeruput iced lychee, ia bercerita tentang pekerjaannya di bagian human capital pada suatu perusahaan di Jakarta. Ia merasa pekerjaannya itu menyenangkan dan membuatnya berkembang sebagai pribadi.
Ira biasa bekerja selama total 15 jam sehari, dan itu dilakukannya baik di kantor maupun di luar kantor. Jam kerja di kantornya sebenarnya hanya 8 jam sehari. Kendati begitu, ia merasa senang dan ikhlas dalam bekerja. "Jika sudah merasakan berkembang, enak sekali. Untuk berkembang, kepala memang sakit," katanya, dua pekan lalu. Baca: Tidur Mendengkur Belum Tentu Sleep Apnea, Waspada Gejalanya
Menurut Ira, jam kerja berlebih seperti itu cukup melelahkan. Namun karena ia senang mengerjakannya dan mengerti cara mengelolanya, ia merasa tak ada masalah berarti. "Saya bisa saja pulang cepat, tapi sampai rumah bekerja lagi."
Apa yang dialami Ira tergambar dari hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif pada 2016. Dalam survei tersebut disebutkan 30,07 persen pekerja di Indonesia pada 2016 mendapat beban kerja berlebih. Temuan itu juga menyebut 33,67 persen pekerja di sektor ekonomi kreatif bekerja lebih dari 48 jam per pekan. Baca: Sulit Diatasi dan Rentan Kambuh, Simak Gejala Jamur Hidung
Pada 2013, seorang pekerja bernama Mita Diran meninggal akibat bekerja terus-menerus selama 30 jam. Ia juga sempat mengunggah status ke Twitter yang menunjukkan dirinya sudah bekerja selama 30 jam.
Baca Juga:
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur soal jam kerja. Disebutkan, waktu kerja adalah 40 jam per satu pekan. Jika harus bekerja lebih, ada syarat-syarat khusus, yaitu ada persetujuan dari pekerja dan tidak lebih dari 3 jam sehari atau 14 jam dalam satu pekan. Baca: Puasa Sebentar lagi, Ini 5 Area di Rumah yang Harus Diperhatikan
Fenomena gila kerja itu juga terjadi di Amerika Serikat seperti yang pernah dilansir Forbes. Sebanyak 94 persen pekerja di sana bekerja lebih dari 50 jam per pekan, dan ini tergambar dalam survei yang dilakukan Harvard Business School pada tahun lalu. Media itu mencatat bekerja tak kenal waktu itu sebagai gaya hidup baru para pekerja di sana.
Michael Blanding, dalam esainya yang dimuat dalam situs Harvard Business School pada tahun lalu, mengutip sebuah studi yang ditulis oleh Anat Keinan bersama Silvia Bellezza dan Neeru Paharia. Studi itu menunjukkan bahwa gaya hidup sibuk sudah menjadi simbol status aspirasional di kalangan masyarakat Amerika Serikat.
KORAN TEMPO