TEMPO.CO, Jakarta – Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga menyebabkan tubuh anak menjadi pendek. WHO menetapkan batas toleransi maksimal stunting (bertubuh pendek) sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.
Di Indonesia, tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita menderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Indonesia kini berada pada urutan ke lima dalam daftar jumlah dengan penderita stunting terbanyak setelah India, Nigeria, Pakistan, dan Cina.
Baca juga:
Candu Gadget Ancam Tumbuh Kembang Anak, Simak Penjelasan Psikolog
Waspada Efek Stres: Karbohidrat Jadi Sasaran, Cek Penelitiannya
Gempa Hari Ini: Waspada Depresi dan Efek Lainnya pada Kesehatan
Menurut dr. Damayanti Rusli S, SpAK, PhD, salah satu faktor utama penyebab stunting adalah kekurangan makan. Maksud dari makan bukan berarti memberi jenis makanan apa pun tanpa mempertimbangkan gizi asalkan perut anak terisi. Orang tua harus memerhatikan asupan gizi yang dikonsumsi oleh anak. Dengan begitu, gizi anak baru bisa dibilang tercukupi. Akan tetapi, anggota UKK Nutri dan Penyakit Metabolik PP IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) tersebut mengingatkan, tidak semua anak dengan tubuh pendek mengidap stunting.
“Nggak semua (anak) pendek karena kurang makan. Jangan semua anak pendek dibilangnya kurang makan. Kalau anak (tubuhnya) pendek, tolong pergi ke dokter untuk diperiksa,” ujar dr. Damayanti pada acara “Stunting dan Gizi Buruk Tantangan Mewujudkan Indonesia Emas 2045” di gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada 23 Januari 2018.
Tragisnya, anak mengidap stunting, baik sejak lahir maupun setelah lahir, mereka tidak akan dapat sembuh 100 persen, khususnya anak yang sudah mengidap stunting sejak lahir. Hal tersebut ditekankan oleh Prof. Dr. Dodik Briawan, MCN, pada kesempatan yang sama. “Betul (tidak bisa sembuh total). Karena sifatnya permanen,” ujar pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, tersebut.
Damayanti juga menegaskan bahwa kekurangan gizi pada dua tahun pertama kehidupan anak juga dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki. "Cenderung anak akan memiliki IQ tidak lebih dari 90," katanya.
Dia mengatakan permasalahan gizi tidak hanya dapat mengganggu perkembangan fisik dan mengancam kesehatan anak, namun juga dapat menyebabkan kemiskinan. Pasalnya, ketika seseorang memilili IQ kurang dari 90, akan lambat dalam pekerjaan.
Untuk mencegah stunting, orang tua harus menjaga asupan gizi untuk ibu dan anak, terutama selama masa 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Damayanti menekankan, periode tersebut terhitung sejak masa kehamilan ibu, bukan sejak hari pertama anak terlahir ke dunia. "(Dalam) 1000 hari ini terjadi pertumbuhan otak. Kalau dia sudah terbentuk, sangat sulit untuk memperbaikinya," ujar dokter spesialis anak tersebut.
MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA