TEMPO.CO, Jakarta - Pesatnya pertumbuhan perusahaan e-commerce asal Cina, Alibaba, tidak hanya membuat gugup perusahaan sejenis, tapi juga perusahaan ekspedisi global, seperti Maersk, FedEx, dan UPS Inc. Perusahaan-perusahaan jasa pengantaran barang ini khawatir suatu saat Alibaba akan mengirim sendiri barang pesanan pelanggan.
Perusahaan yang menggentarkan banyak perusahaan raksasa itu berawal dari sebuah apartemen kecil di Hangzhou, Cina. Didirikan Jack Ma pada 1999, bisnis Alibaba terus membesar dengan topangan dari investor-investor dunia. Hingga akhirnya, pada 2014, Jack Ma membawa Alibaba melantai di bursa saham New York, Amerika Serikat. Baca: Rumitnya Tangani Katarak pada Anak Dibanding Orang Dewasa
Dari aksi korporasi tersebut, Jack Ma mendapat dana segar sebesar US$ 24,3 miliar dengan kapitalisasi pasar senilai US$ 165,6 miliar. Jack Ma bukan satu-satunya pengusaha asal Negeri Panda yang merajai pasar global. Wang Jialin, orang terkaya di Cina, sedang berupaya menguasai dunia hiburan global dan berambisi menjadi pesaing Disney.
Menurut pakar budaya Cina dari Universitas Indonesia, Agni Malagina, orang-orang Tionghoa sukses berkat kerja keras, jujur, dan kepercayaan. Tiga modal itu, kata dia, membantu para pengusaha berdiri lagi dengan cepat ketika terpuruk. "Misalkan ada saudagar yang tertimpa musibah, berkat kepercayaan itu, dia mudah saja mendapat modal dan berbagai bantuan untuk mulai berbisnis lagi."
Selain itu, dia mengimbuhkan, para saudagar Tiongkok menganggap bisnis sebagai medan perang. Mereka sangat bangga mewarisi dan menjalankan nilai-nilai seni Sun Tzu dan filosofi hidup pohon bambu. "Semuanya saling berkaitan untuk menopang kesuksesan seorang saudagar Cina," dia mengungkapkan, kemarin. Baca: Fase Merangkak, Bahayakah Bayi Mulai Hirup Partikel Debu?
Corporate Culture Expert of ACT Consulting, Rinaldi Agusyana, menuturkan bahwa seni Sun Tzu membuat para saudagar itu cepat beradaptasi dengan lingkungan. Dengan demikian, mereka unggul dalam menanggapi perubahan. "Seni ini bicara tentang menjalin relasi, di mana hubungan manusia lebih diutamakan daripada perhitungan bisnis," tuturnya.
Dengan menerapkan seni ini, bisnis menjadi lebih manusiawi. Filosofi ini pula yang menyebabkan para saudagar Cina memiliki banyak pelanggan dan hubungan yang erat. Seni ini, tutur Rinaldi, mendorong pengusaha menjalankan strategi yang menguntungkan banyak orang. Mereka memilih mengambil keuntungan sedikit tapi dengan jumlah transaksi yang besar.