TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Terawan Agus Putranto, diberikan sanksi pemecatan sementara selama 12 bulan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
Seperti diberitakan Tempo.co, keputusan tersebut merupakan hasil dari proses laporan soal dokter Terawan sejak beberapa tahun lalu. “Tapi sudah tahunan, lah, untuk keseluruhan proses,” ujar sekretaris MKEK PB IDI, Pukovisa Prawiroharjo, pada Rabu, 4 April 2018 lalu.
Baca juga:
Asian Games 2018: No Medical No Games, Apa Artinya?
Festival Cheng Beng, Ikhlas Jadi Kunci Proses Kremasi
Dokter Terawan Dipecat IDI, Begini Reaksi Para Mantan Pasien
Dokter Terawan dikenal dengan metode penanganan medis penyakit stroke yang disebut metode cuci otak atau brain washing (BW). Metode ini dilakukan dengan teknik yang sederhana, yaitu dengan membersihkan saluran gorong-gorong yang tersumbat. Sebab, salah satu penyebab terjadinya stroke adalah penyumbatan aliran darah ke otak atau stroke iskemik. Dengan metode ini, pembuluh darah diklaim dapat dibersihkan dan bekerja kembali dengan normal. Untuk membersihkan sumbatan di otak tersebut, Terawan menggunakan cairan heparin yang memberi pengaruh terhadap pembuluh darah. Heparin dikenal sebagai antikoagulan (anti-pembekuan darah), agen anti-inflamasi, dan anti-oksidan.
Namun, metode ini mendapat banyak tentangan dari para ahli saraf. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), Hasan Machfoed, obat yang digunakan dalam metode cuci otak, yaitu Heparin, tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke. Heparin hanya berfungsi untuk mencegah pembekuan dara selama tindakan (DSA) yang menjadi dasar prosedur metode cuci otak tersebut. Obat yang bisa digunakan untuk menghancurkan clot atau pembekuan darah adalah r-TPA.
Untuk menjelaskan logika metode tersebut, ia mengandaikan kisah seorang pasien yang mengalami gejala batuk-batuk. Ia akan melalui serangkaian tes, salah satunya adalah rontgen. Namun, apakah hanya dengan rontgen pasien bisa dinyatakan sembuh? Jawabannya adalah tidak. Hal itu sama saja dengan metode cuci otak yang mengandalkan Digital Substraction Angiography (DSA) sebagai terapi stroke. DSA sendiri digunakan untuk memberi gambaran lumen pembuluh darah tubuh, biasanya digunakan untuk mendiagnosis stroke.
Karena itu, Hasan menyatakan bahwa metode cuci otak tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat. Sebab, secara klinis, DSA dengan Heparin hanya berfungsi untuk diagnosa guna melihat deviasi pembuluh darah pada otak. Hasan mengatakan, Heparin sendiri jika terlalu banyak dikonsumsi tubuh dapat menimbulkan perdarahan otak.
ABDUL RAHMAN | NUR ALFIYAH | MUHAMMAD HENDARTYO | MAGNULIA SEMIAVANDA HANINDITA