TEMPO.CO, Jakarta - Maraknya berita terorisme di media menjadi perhatian masyarakat banyak. Mudahnya mendapatkan informasi saat ini, membuat siapapun dapat menerima berita apa saja dimanapun, termasuk anak.
Sayangnya, anak dalam usia tertentu masih menerima informasi yang ada secara keseluruhan dan belum mampu untuk menyeleksinya sendiri. Hal ini yang dapat membangun rasa takut berlebihan pada anak dengan menerima informasi peristiwa pemboman atau teroris.
Baca juga:
Puasa 2018: Simak 6 Tips Puasa di Cuaca Ekstrem
Ramai Berita Terorisme, Hati-hati Dampaknya pada Anak
Proses dan Rahasia Sukses Agnez Mo, Tilik Caranya Pilih Teman
Psikolog klinis, Denrich Suryadi, menjelaskan bahwa peran orangtua tentunya yang paling penting dan utama dalam hal ini. “Baik ayah ataupun ibu, sebaiknya [bersikap] netral dalam menanggapi kasus ini[terorisme],” ucap Denrich saat dihubungi TEMPO.CO pada 14 Mei 2017.
Selain itu, lanjut Denrich, tekankan pada anak faktor keragaman agama dalam persatuan. Jelaskan perlahan bahwa teroris merupakan segelintir orang yang memiliki paham ajaran sesat, bukan dari satu agama tertentu. Dan juga, tujuan mereka adalah untuk memecah persatuan dan menimbulkan rasa takut. Hal ini penting, untuk mencegah rasa takut berlebihan pada anak.
Kemudian, orangtua juga berperan dalam menentukan kebebasan menyaksikan tayangan di televisi ataupun informasi dari ponsel pintar. Tujuannya agar anak tidak menyaksikan semuanya informasi yang disajikan. Tidak semua anak mampu melakukan seleksi dan memahami tayangan tersebut dengan baik. "Dengan membatasi tayangan tersebut, orang tua akan mampu meminimalisir dampak tayangan perilaku terorisme dari media massa,” ucap Denrich.
Dalam menyikapi berita terorisme , Denrich juga menyarankan agar orangtua tetap bersikap tenang meskipun waspada. Menurutnya, orangtua sebaiknya tidak menularkan rasa takut atau cemas berlebihan pada anak. Khawatirnya, sang anak justru akan menolak keluar rumah atau beraktivitas seperti biasanya. Anak biasanya akan meniru dan merasakan langsung perasaan takut atau cemas dari sikap serta perilaku orangtuanya. “Waspada tetap penting namun tidak bersikap takut secara berlebihan,” ungkap Denrich.