Istanbul, Turki, suatu sore pada musim semi, awal Juni 2008. Udara sejuk berkisar 15-20 derajat Celsius. Dinginnya udara membuat keringat tak mengucur walau saya telah berjalan kaki sepanjang 300 meter menuju pantai di Selat Bosphorus.
Selat itu merupakan batas dua benua, Asia dan Eropa. Dua buah jembatan, Bosphorus dan Fatih, menghubungkan dua keping benua itu. Pada simpul pertemuan itulah terhampar lekuk indah Istanbul, kota yang sarat jejak peradaban.
Beruntunglah saya, saat jalan-jalan di pantai itu, saya bisa menikmati taman di galur sepanjang pantai dan lapangan yang dinamai Besiktas Square. Lebih beruntung lagi, sebuah acara tengah berlangsung di tempat itu. Sejumlah siswa sekolah menengah sedang unjuk gigi menampilkan tari-tarian tradisional Turki. Dengan seperangkat alat fotografi, saya pun tak berpikir panjang untuk segera merekam gerak mereka.
"Tak ada sebutan untuk acara ini, kami hanya berkumpul dan menari," kata salah satu panitia. Beberapa tarian dinamakan sesuai dengan nama daerah asalnya. Mereka menari dengan kostum khas Timur Tengah, diiringi musik alat tiup tradisional serta nada-nada pekik para penari. Sebuah kejutan yang menyenangkan.
Itulah satu kesempatan memanfaatkan waktu luang di sela-sela peliputan kongres International Air Transport Association (IATA) bersama rombongan wartawan dari Indonesia. Kebetulan, tempat kongres dekat dengan Selat Bosphorus. Tentu, sesuatu yang menyenangkan bisa menjejaki sudut-sudut Istanbul, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Masjid.
Istanbul, yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, merupakan kota terbesar dan terpadat di Turki. Walau demikian, kota itu masih menyisakan sejumlah ruang publik yang nyaman dan aman untuk warganya. Beberapa taman dilengkapi kedai teh dengan perlengkapan yang serba kecil kursi, meja, dan gelasnya. Dengan satu lyra (sekitar Rp 7.500) teh kental hangat yang terasa sepat di lidah namun menyegarkan menjadi teman menikmati sore.
Adapun makanan yang menjadi menu khas tentulah daging kebab khas Turki yang diiris tipis-tipis ditemani kentang atau nasi. Nasi dengan sedikit bumbu gurih yang menjadikannya berwarna kecokelatan. Bagi yang suka pedas, biasanya mereka harus meminta serbuk cabai pada pelayan untuk dicampur dengan saus tomat yang tersedia di meja.
Kesempatan kedua saat tiba-tiba panitia membatalkan makan malam di hotel bagi para jurnalis dan menggantinya dengan makan malam di atas kapal sambil menjelajah Selat Bosphorus! Hal yang jangan sampai terlewat saat berkunjung ke Istanbul.
Warna senja menghiasi langit saat kami menaiki kapal. Kamera saya tak henti-hentinya mengabadikan pemandangan yang disajikan apik oleh dua sisi benua.
"Kita sedang berada di antara dua benua, di sana benua Asia, dan sebaliknya benua Eropa," ujar Ismael, salah seorang awak kapal yang sempat saya ajak mengobrol.
Sementara makan malam disiapkan, anggur merah atau kopi Turki dapat membantu menghangatkan badan yang mendingin oleh terpaan angin laut seiring dengan berlalunya senja.
Kembali kami dibuat girang oleh kejutan panitia yang menyewa penari perut untuk menghibur kami seusai makan malam. Beberapa rekan menjadi "korban", ditarik untuk menemani penari. Senyum dan tawa bertebaran. Tak terasa compact flash kamera telah penuh saat kapal kembali bersandar.
Malam juga dapat dinikmati di pusat kota di Taksim Square. Di tempat itu terbentang jalan Istiklal yang dipenuhi toko, restoran, dan tentu ratusan turis yang menghilangkan penat dengan sekadar berjalan-jalan atau nongkrong di kafe atau bar menghabiskan malam.
Seusai kongres, rombongan kami tak menyia-nyiakan hari yang tersisa untuk mengunjungi situs bersejarah di kawasan Sultanamet. Beberapa nama tempat berkali-kali kami baca di panduan wisata. Hagya Sofia, Blue Mosque, Topkapi Palace, dan Grand Bazaar adalah beberapa di antaranya.
Blue Mosque menjadi tujuan pertama kami. Bentuknya dapat ditandai dengan enam menara yang menjulang di sekitar kubah masjid. Bangunan itu berdiri pada 1616 dan hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, sehingga turis yang ingin melihat bagian dalam bangunan harus menunggu usainya salat berjamaah. Turis yang ingin masuk juga harus melepas alas kaki dan berpakaian sopan. Untuk perempuan yang tidak berjilbab disarankan untuk membawa kain kerudung jika ingin masuk.
Di halaman masjid sejumlah anak yang mengenakan pakaian tradisional menjadi obyek foto yang menggemaskan dan menggelitik rasa penasaran.
"Cut off..., cut off," kata seorang ayah, yang menemani anaknya sembari mengisyaratkan sebuah gunting memotong salah satu jarinya saat saya mencoba mencari tahu.
Rasa penasaran saya baru terjawab setelah mencuri dengar penjelasan seorang pemandu wisata bahwa anak-anak lelaki yang berseliweran tersebut sedang bersiap menjalani prosesi khitanan. Mereka diperkenalkan pada situs dan sejarah Islam terlebih dulu oleh orang tua mereka.
Setelah puas dibuai keindahan keramik biru Iznik yang menghiasi dekorasi masjid itu, kami keluar melalui gerbang selatan menuju Hagya Sofia yang terpisah hanya seratusan meter. Berbeda dengan Blue Mosque, di Hagya Sofia pengunjung harus menukar 10 lyra dengan tiket masuk museum ternama itu.
Sofia pernah menjadi gereja selama 916 tahun dan menjadi masjid selama 481 tahun, sebelum pendiri Turki, Mustafa Kemal Atatürk, menjadikannya museum pada Februari 1935. Pengunjung dapat menyaksikan kemegahan kubah besar berbentuk elips setinggi 55,6 meter dihiasi lambang dari dua agama besar yang saling mengisi dan berdampingan menghiasi sudut-sudut interior Sofia.
Waktu memaksa kami bergegas. Oleh-oleh untuk mereka yang ditinggalkan di Tanah Air belum juga di tangan. Seusai makan siang, kami pun bergegas menuju Grand Bazaar yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit. Jika kebetulan sepatu kulit menjadi kotor, penyemir sepatu dengan peralatan khasnya yang berwarna keemasan dapat membantu di sejumlah sudut jalan.
Grand Bazaar yang juga dikenal sebagai Covered Bazaar berdiri sekitar 100 tahun yang lalu. Kini sekitar 3.500 kios menjual ribuan jenis barang, dari karpet puluhan juta rupiah sampai gantungan kunci devil's eye seharga satu lyra. Keterampilan menawar akan mendapat ujian di tempat ini.
Berhati-hatilah! Delapan puluh gang bersilangan di tempat itu sehingga tak akan mudah untuk menemukan jalan keluar jika terlalu asyik berbelanja.
Sayang, waktu tak mengizinkan kami untuk berlama-lama. Memang, ada kalimat di sebuah majalah travel yang mengatakan bahwa seminggu adalah waktu minimal untuk menikmati keindahan Istanbul. Empat hari menapak Istanbul, bolehlah. FANNY OCTAVIANUS (PEWARTA FOTO) (Koran Tempo)