TEMPO.CO, Jakarta - Hingga saat ini, belum ada obat pasti yang ditemukan untuk mengatasi virus corona. Meski demikian, beberapa jenis obat yang sudah tersedia di pasaran diyakini memiliki fungsi atau target sasaran yang sama untuk menangani virus corona SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melalui buku pedoman 'Serba Covid: Cegah Covid-19 Sehat untuk Semua' menjabarkan tiga obat yang telah disetujui untuk digunakan selama masa pandemi kepada pasien darurat. Apa saja?
- Klorokuin alias Chloroquine
Klorokuin merupakan golongan obat keras yang telah disetujui BPOM untuk penggunaan darurat guna mengobati pasien Covid-19 golongan dewasa dan remaja. Obat malaria ini penggunaannya harus dalam pengawasan dokter karena terdapat berbagai efek samping yang bisa ditimbulkan. Ini termasuk sakit perut dan sakit kepala. Jika mengalami detak jantung tidak teratur, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, kelemahan otot, memar di kulit, atau gatal-gatal, maka konsultasi ke dokter sangat dianjurkan. - Hidroksiklorokuin atau Hydroxychloroquine
Hidroksiklorokuin merupakan golongan obat keras yang penggunaannya juga harus dalam pengawasan dokter. Umumnya ini digunakan untuk pengobatan lupus eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Meski begitu, BPOM telah memberikan persetujuan penggunaan darurat untuk mengobati Covid-19 pada pasien dewasa dan remaja. Adapun efek samping yang ditimbulkan seperti mual dan muntah. Apabila mengalami turunnya gula darah yang umumnya ditandai dengan gejala gemetar atau keringat dingin, kejang, konsultasikan segera dengan dokter. - Favipiravir
Obat keras favipiravir juga disetujui BPOM untuk digunakan dalam mengatasi Covid-19 pada dewasa. Meski demikian, ini tidak disarankan bagi pasien yang sedang hamil atau menyusui. Adapun efek samping seperti gangguan saluran cerna berupa diare, mual, muntah, sakit perut, perut tidak nyaman, radang perut, tukak lambung. Favipiravir juga dapat menyebabkan gangguan hati dan penurunan produksi sel darah merah. Pada beberapa orang, favipiravir dapat menyebabkan gatal dan eksim. Apabila terjadi efek samping yang lebih serius, disarankan untuk mengunjungi dokter.BPOM menambahkan bahwa persetujuan ketiga obat ini hanya berlaku pada masa pandemi. Penggunaan obat ini akan ditinjau kembali sesuai perkembangan dan kondisi terkini. BPOM pun menyebutkan bahwa masyarakat bisa melihat perkembangan terkini terkait obat COVID-19 di Indonesia melalui bit.ly/InformatoriumObatCovid-19.
Perdebatan tentang obat untuk COVID-19 masih terjadi di kalangan para ahli. Pada 20 Maret 2020, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam memperingatkan bahwa obat klorokuin adalah obat yang keras. Jika salah menyimpannya bisa menjadi racun. Jika salah penggunaannya pun akaibatnya bisa merusak ginjal dan liver.
Lulusan Ilmu Biomedik FKUI itu juga meminta agar apoteker tidak sembarangan memberikan obat kepada masyarakat. “Jika ada apotek yang memberikannya sembarangan maka itu urusannya harus dengan kepolisian, karena itu obat keras,” kata Ari menegaskan.
Perdebatan penggunaan obat itu pun sempat diserukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang telah mendesak Indonesia untuk menghentikan penggunaan dua jenis obat malaria untuk mengobati pasien virus corona, klorokuin dan hidrosiklorokuin. Keduanya batal diuji oleh WHO untuk mengobati pasien COVID-19, karena berisiko menimbulkan gangguan detak jantung pasien dan bisa menyebabkan kematian.
Pada akhir Maret 2020, Erlina Burhan, dokter yang terlibat dalam menyusun pedoman perawatan virus corona dan merupakan anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), mengonfirmasi larangan dari WHO tersebut. "Kami telah mendiskusikan hal ini dan masih ada perselisihan. Kami belum sampai pada kesimpulan," katanya kepada Reuters.
Berita ini mengalami beberapa penambahan informasi untuk pendalaman artikel, pada 30 Mei 2020 pukul 08.45.
SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA