TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada pasangan yang ingin bercerai. Ada beragam hal rumit yang mesti dipersiapkan saat perpisahan, selain status juga keuangan. Saat menikah suami istri yang sama-sama bekerja akan memiliki penghasilan ganda. Namun saat bercerai harus bisa memenuhi kebutuhan sendiri dengan penghasilan yang diterima masing-masing.
Jika saat menjadi pasangan hanya salah satu saja yang bekerja, maka setelah berpisah harus menanggung hidup dengan bekerja sendiri. Aulia Akbar, perencana dan edukator keuangan Lifepal, mengatakan kondisi tersebut tentu saja harus bisa dihadapi. Salah satunya, dengan menyesuaikan ulang gaya hidup setelah bercerai sehingga jangan sampai kehidupan menjadi lebih sengsara dibandingkan saat masih berstatus menikah.
“Karena itu, sebaiknya Anda juga mengetahui cara mempersiapkan dan mengelola keuangan supaya tidak bangkrut pascabercerai,” ujar Aulia. Berikut tips agar lebih siap cara mengelola keuangan pascacerai.
Ketahui aset-aset
Hal pertama yang perlu dilakukan usai bercerai dengan pasangan adalah mencari tahu jumlah aset-aset. Menurut Pasal 35 UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Jelas sekali bahwa, ketika salah satu pasangan hendak menjual “aset yang mereka dapat sejak perkawinan”, maka dia wajib meminta izin dari pasangan.
Harta bersama itulah yang akhirnya seringkali disebut harta gono-gini. Bukan tidak mungkin harta tersebut menjadi potensi masalah yang paling utama muncul ketika suami istri memutuskan untuk berpisah, terutama bagi yang tidak memiliki perjanjian pisah harta.
Namun, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juga menyebutkan ada sebagian harta yang bukan termasuk dalam golongan harta bersama, yaitu:
-Harta bawaan yang sudah dimiliki masing-masing pasangan sebelum menikah.
-Harta perolehan atau harta milik suami maupun istri setelah menikah dan didapatkan dari hibat, wasiat, atau warisan. Ketika terjadi perceraian, dua harta tadi tetap menjadi milik pribadi masing-masing.
Di luar kategori itu, maka termasuk harta gono-gini yang wajib dibagi ketika terjadi perceraian. Karena itu, buatlah daftar mengenai aset-aset yang Anda miliki lewat sebuah neraca keuangan. Simpan baik-baik bukti akan kepemilikan aset tersebut.
Hati-hati dengan utang
Utang tentu bisa menjadi masalah besar dalam pernikahan, terutama bila pasutri mengajukan utang untuk membeli aset. Anggap saja, mereka mengajukan KPR dan selama proses cicilan, patungan membayarnya. Sangat dianjurkan bila utang-utang tersebut diselesaikan dengan harta bersama yang ada, sebelum harta bersama dibagikan. Mereka bisa saja melunasi rumah tersebut dengan harta bersama lalu menjualnya, lalu sisa keuntungan dari penjualan itu akan dibagi.
Asuransi jiwa
Bila telah dikaruniai anak, ingatlah bahwa perceraian tidak akan mengubah status legal anak. Anak akan tetap menjadi ahli waris sah. Itulah sebabnya wajib untuk memiliki asuransi jiwa. Asuransi jiwa akan menjadi perlindungan terbaik terhadap risiko finansial yang muncul di saat pencari nafkah kehilangan kemampuan untuk mendapatkan penghasilan. Uang pertanggungan dari asuransi jiwa bisa dimanfaatkan anak untuk membiayai hidupnya, atau membayar segala proses balik nama aset yang diwariskan di kemudian hari.
Tetap kelola pengeluaran dengan baik
Bagi pasangan yang dulu menerapkan sistem pendapatan bersama dalam keluarga, perceraian akan berdampak pada kondisi keuangan. Atur baik-baik pengeluaran dengan menyusun laporan arus kas pribadi. Pastikan pengeluaran tak melebihi pemasukan, sediakan dana darurat, dan proteksi.
Penuhi tunjangan anak
Adapun tujuan finansial orangtua selain menyediakan dana pensiun adalah melihat anak mendapatkan akses pendidikan yang baik dan sukses di kemudian hari. Kehadiran anak dalam keluarga menjadi tanggung jawab pasutri meskipun keduanya memutuskan bercerai. Meski telah diatur oleh undang-undang kewajiban terkait tunjangan anak di mana suami sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab lebih besar, dalam kenyataannya tuntutan yang sama besar ini harus ditanggung pihak istri.
Dengan kondisi tersebut, maka harus menjadi hal penting bagi pasangan yang akan bercerai membuat perjanjian yang fungsinya mempertegas kewajiban mantan pasangan dalam menanggung tunjangan anak. Dengan demikian, kewajiban terkait tunjangan anak ini tidak menggugurkan kewajiban ayah maupun ibu. Bahkan, ketika perjanjian itu mengatakan tanggung jawab dibagi berdua, harus dirinci apa saja yang menjadi alokasi kewajiban ayah dan ibu.
Baca juga: Minat Lakukan Perjanjian Pranikah? Ini 6 Syarat dan Landasan Hukumnya