TEMPO.CO, Jakarta - Lisa Clarani, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu korban kekerasan seksual. Salah satu tetangga kosnya mengancam dan memeras Lisa untuk menyebarkan video intimnya di jagat maya. Lisa sangat ketakutan bila hal itu terjadi. Ia pun melaporkan tindakan kekerasan online itu ke pihak berwajib.
Saat ini, Lisa masih berjibaku melawan trauma. Ia lebih sering bengong dan merasa hampa. Sebelumnya Lisa adalah perempuan periang. Peristiwa pemerasan lewat video seks di indekos lamanya masih menyisakan luka. Akibatnya, ia takut bertemu dengan orang asing dan gemetaran ketika menerima panggilan telepon dari nomor yang tak dikenal.
Ketakutan pun dialami oleh Fanny Maulana, bukan nama asli. Fanny sempat mengalami stres akut. Ia sering tidak fokus, pikirannya pun sering terdistraksi. Ia kerap berpikir bahwa dunia yang dijalaninya itu tidak nyata. Tidak jarang ia merasa cemas, dan insomnia. Bahkan untuk menenangkan diri, dia harus berendam di kamar mandi setelah tengah malam.
Fanny juga salah satu korban kekerasan seksual. Ia sempat dipaksa laki-laki hidung belang yang dia kenal melalui aplikasi online untuk berhubungan seksual. Walau berhasil kabur dari pelaku, namun ia trauma masih menghantuinya. PTSD yang sempat sembuh itu pun muncul kembali dan menyerangnya. PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan.
PTSD memang salah satu masalah kesehatan mental yang bisa dialami korban KGBO. Bahkan menurut Psikolog Zoya Amirin PTSD paling banyak dialami para korban kekerasan seksual, tidak hanya yang berbasis online saja. Banyak korban yang merasa sangat sulit ketika harus memikirkan kembali tragedi kekerasan seksual yang dialaminya. Pikiran itu bisa masuk ke alam bawah sadar korban dan muncul berkali-kali di mimpinya. Hal ini mengakibatkan dia mengalami insomnia karena takut untuk tidur. "Secara alam bawah sadar kan kita jadi diteror oleh ketakutan kita sendiri. Misal ketakutan foto telanjangnya akan disebarkan, atau tidak tahan dengan berbagai penghinaan di media sosial," kata Zoya.
Kondisi ketakutan dan tertekan itu akhirnya bisa membuat depresi. Salah satu ciri yang dialami orang saat depresi adalah perubahan personality. "Yang tadinya ramai atau extreme jadi pendiam. Belum lagi ada korban yang terus menerus mengurung diri di kamar hingga fobia terhadap lingkungan sosial," lanjut Zoya.
Sering pula korban justru ingin melukai diri hingga bunuh diri. Mereka merasa tertekan dan malu bila diminta curhat dengan tim ahli. Ketakutan yang berlebihan itu bisa menjadi teror psikologis, hingga korban juga bisa alami eating disorder, marah dan merasa bersalah tiada habisnya hingga social disorder. "Korban bisa juga takut untuk melalukan hubungan seksual," katanya.
Walau begitu, tingkat trauma yang dialami para korban juga bisa tergantung dari para pelaku. Ketika si korban bertemu pelaku yang narsis, maka korban akan lebih merasa malu dan dibodohi. Para korban pelaku narsistik kebanyakan adalah perempuan yang pintar dan memang populer. Pelaku yang memiliki sifat narsistik cenderung hanya mampu mencintai diri sendiri. Bagi pelaku model ini, ketika bisa menaklukan perempuan top dan populer, akan menambah citra dirinya.
Ada pula pelaku yang sabar tarik ulur dengan korbannya. Bisa saja mereka melakukan pendekatan 3-6 bulan kepada korban sebelum akhirnya shatai curahan hati mereka hingga akhirnya korban meruntuhkan berbagai kewaspadaan dan keamanan dirinya. "Korban yang bertemu dengan pelaku model ini biasanya pemulihannya lebih lama. Perasaan bersalah dan marahnya justru lebih banyak kepada diri sendiri dibanding dengan ke pelaku," kata Zoya.
Ada beberapa metode pemulihan pada korban, salah satunya hipnoterapi. Terapi itu memasuki alam bawah sadar seseorang untuk memberikan sugesti tertentu. Walau terapi ini bisa digunakan, Zoya lebih menyarankan agar pengobatan para korban KBGO dilakukan dengan Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), salah satu teknik psikoterapi interaktif yang bertujuan untuk meredakan stres. "Bila perlu kami psikolog bekerja sama dengan psikiater untuk menambah terapi dengan obat. Namun semua tergantung hasil konsultasi dengan psikolog," kata Zoya.
Baca: Membatasi Gerak Pelaku Kekerasan Seksual
Kolaborasi dengan Judith Nellson Institute - Asian Stories
DINI PRAMITA| DIKO OKTARA | LINDA TRIANITA | MITRA TARIGAN