TEMPO.CO, Jakarta - Pemberian edukasi seksualitas sudah dapat dilakukan sejak dini. Namun, perlu dilakukan secara bertahap sesuai dengan usia tumbuh kembang anak. Psikolog Klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, mengatakan pemberian edukasi seksualitas pada masyarakat dapat membantu mencegah terjadinya pernikahan dini.
“Anak remaja tidak suka dibuat penasaran. Itu justru membuat mereka ingin mencoba. Harusnya kita melakukan pendidikan seksualitas di usia yang tepat, termasuk memberi tahu risiko-risiko pernikahan dini,” kata Anna.
Pada saat memberikan edukasi seksualitas yang terkait dengan pernikahan dini, Anna mengatakan sangat penting untuk setiap pihak menjabarkan bagaimana sebenarnya suka duka yang terjadi apabila melakukannya. Edukasi itu tidak hanya memberikan pemahaman mengenai bagaimana cara berhubungan seks yang sehat atau sekadar memperkenalkan alat kelamin tetapi juga segala hal yang berhubungan dengan seks, termasuk cara berkomunikasi sehat dengan orang lain.
Pada balita, misalnya, dia menyarankan agar orang tua dapat mengedukasi anak dengan memperkenalkan nama alat kelamin. Dengan memperkenalkan bagian seksualnya, anak akan lebih cepat bertindak apabila terjadi suatu kejahatan seksual.
“Orang tua melindungi apa ketika anak melaporkan sesuatu yang tidak jelas? Tapi ketika sudah diberi tahu nama alat kelaminnya, anak bisa melaporkan dengan cepat ketika dia sampai mengalami kejahatan seksual,” ujar Anna.
Edukasi pada balita termasuk membiasakan anak agar tidak melepas baju di sembarang tempat atau memperlihatkan bagian tubuh di lingkungan yang terbuka serta mengajarkan adanya sentuhan baik dan buruk yang dilakukan oleh orang saat melakukan kontak fisik dengan anak. Anna menuturkan bagi anak yang telah duduk di bangku sekolah dasar (SD), para guru dapat mulai mengajarkan peran-peran yang dilakukan oleh setiap gender. Sedangkan untuk sekolah menengah pertama (SMP) perlu diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika memiliki ketertarikan pada lawan jenis.
“Penting untuk diajarkan pada pendidikan seksualitas. Kemudian nanti saat SMA bisa dilanjutkan bagaimana menjalin relasi yang sehat dengan orang lain, bukan relasi yang toksik. Itu juga pendidikan seksualitas yang perlu dibahas,” ujarnya.
Ia mengatakan sangat salah apabila masyarakat masih berpikiran pemberian pendidikan seksual tidak boleh dilakukan karena melalui pelajaran tersebut anak-anak dapat menghormati diri sendiri, kesehatan seksualnya, serta mampu lebih menghormati lawan jenis.
“Dengan mereka mendapatkan pendidikan seksualitas yang sesuai usia justru anak itu terlindung dari risiko-risiko masalah kejahatan seksual, risiko-risiko melakukan hal-hal yang tidak benar dari seksualitas dia, justru dia memiliki kehidupan seksualitas yang lebih sehat. Jadi, salah sekali kalau tidak boleh melakukan pendidikan seksualitas, justru ini penting sekali,” ucap Anna.
Secara terpisah, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, menyoroti edukasi mengenai pernikahan pada anak perlu lebih digalakkan untuk dapat mencegah terjadinya kematian ibu dan bayi.
“Salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah kita luruskan bahwa pemahaman terhadap kesehatan reproduksi itu penting,” kata Hasto.
Hasto mengatakan hal tersebut penting untuk dilakukan lebih masif lagi agar dapat mengubah pandangan masyarakat pada pendidikan seksual yang masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu. Ia menjelaskan apabila anak tersebut memilih untuk hamil pada usia yang lebih muda, tulang akan berhenti bertambah panjang dan mudah terkena penyakit saat usia tua karena perempuan akan mengalami menopause dan osteoporosis serta rentan terkena kanker mulut rahim.
Hasto menegaskan apabila anak telah memahami dan mengetahui pentingnya kesehatan pada sistem reproduksi tubuh maka akan memiliki pola pikir dan perilaku yang berbeda saat menanggapi hal terkait perkawinan.
Baca juga: Tidak Mudah Ingin Nikah Muda dengan Dispensasi Kawin