TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) sudah dimulai dengan protokol kesehatan yang ketat. Pembelajaran di kelas dilakukan secara bergantian dengan kapasitas separuhnya. Sebagian besar orang tua menyambut baik pembukaan sekolah tersebut karena dinilai memberikan dampak positif bagi anak.
Selain itu, siswa tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas makan dan minum di sekolah. Kantin pun tidak ada yang buka. Bagaimana pun, COVID-19 akan tetap ada sehingga mau tidak mau harus bisa hidup berdampingan dengan penyakit itu. Tentu saja tidak baik jika anak selamanya dibiarkan belajar di rumah. Sekolah yang mulai melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas dilakukan secara bergantian sehingga setiap siswa tidak masuk sekolah setiap hari.
“Dalam satu minggu hanya tiga hari, sisanya mereka belajar dari rumah atau kembali melakukan PJJ,” ujar Kepsek SD Al Amanah Tangerang, Harmi.
Lama waktu pembelajaran juga tidak seperti sebelum pandemi COVID-19. Pembelajaran hanya dilakukan 3-4 jam di sekolah. Selain itu, pembelajaran juga dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Siswa juga diminta untuk menggunakan masker dua lapis.
Meski waktu sekolah hanya sebentar, para siswa tampak senang karena sudah terlalu lama belajar di rumah secara daring. PTM terbatas di SD Al Amanah Tangerang dilakukan mulai awal September 2021. Pada semester sebelumnya, sekolah itu juga sudah melakukan uji coba pembelajaran namun karena kasus COVID-19 di Tanah Air naik kembali maka batal melakukan PTM terbatas.
PTM dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Terutama peserta didik di jenjang SD belum sesuai menerapkan PJJ karena membutuhkan interaksi dengan guru dan juga teman. Semua pihak tentu berharap kasus COVID-19 dapat terkendali di Tanah Air sehingga bisa kembali melakukan PTM di sekolah secara normal.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Jumeri, membantah adanya klaster sekolah akibat PTM terbatas. Data Kemendikbudristek menyebut sebanyak 97,2 persen sekolah tidak memiliki kasus COVID-19 di satuan pendidikan tersebut. Angka 2,8 persen satuan pendidikan itu bukanlah data klaster COVID-19 tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular COVID-19. Dengan demikian, 97,2 persen sekolah tidak memiliki warga sekolah yang terinfeksi COVID-19.
Jumeri menambahkan belum tentu juga penularan COVID-19 terjadi di satuan pendidikan. Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbudristek. Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM terbatas dan ada juga yang belum.
Ia menjelaskan angka 2,8 persen satuan pendidikan yang diberitakan bukan laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir melainkan 14 bulan sejak Juli 2020. Selanjutnya, isu yang beredar mengenai 15.000 siswa dan 7.000 guru positif COVID-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi sehingga masih ditemukan kesalahan.
Ke depan, Kemendikbudristek sedang mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data karena keterbatasan akurasi data laporan dari satuan pendidikan. Kemendikbudristek juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dinamika sekolah yang melaksanakan PTM terbatas.
Peserta didik juga bisa tetap belajar dari rumah jika orang tua belum yakin dan belum memberikan izin untuk mengikuti PTM terbatas serta tidak ada proses menghukum dan diskriminasi bagi anak-anak yang belajar dari rumah. Kemendikbudristek juga mengimbau agar sekolah mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk memastikan kesehatan dan keselamatan warga sekolah tetap menjadi yang utama saat melaksanakan PTM terbatas.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, mengatakan pelaksanaan PTM terbatas tetap dilanjutkan meski terjadi kasus di sekolah itu. Jika muncul kasus COVID-19 di sekolah, tidak lantas menutup kembali seluruh sekolah. Pemerintah daerah sudah memiliki prosedur dalam menangani klaster COVID-19.
Pemda sudah memiliki kebijakan khusus dalam menangani klaster COVID-19 di daerahnya. Misalnya saja di DKI Jakarta, jika ditemukan kasus COVID-19, maka sekolah itu ditutup beberapa hari sekaligus melakukan penelusuran kasus. Oleh karena itu, meski klaster sekolah bermunculan tidak lantas menutup kembali sekolah.
Kebijakan membuka kembali sekolah bukan dilakukan dengan sertamerta melainkan melalui banyak pertimbangan. Sekolah juga harus memenuhi persyaratan yang cukup ketat, mulai dari dukungan sarana prasarana, vaksinasi COVID-19 bagi para pendidik, siswa, dan juga warga sekolah lain. Jadi, ada daftar periksa yang harus diisi sekolah. Kalau daftar belum terpenuhi maka sekolah tidak bisa melaksanakan PTM terbatas.
Sekolah-sekolah yang tidak memenuhi syarat PTM terbatas maka akan dengan sendirinya tidak bisa memulai pembelajaran tatap muka. Sebaliknya, jika memenuhi daftar periksa maka sekolah juga diijinkan menggelar PTM terbatas. Daftar periksa tersebut disusun banyak pihak yakni Kemendikbudritsek, Satgas COVID-19, dan Kementerian Kesehatan.
Parameter yang harus dipenuhi sudah memenuhi standar keamanan untuk menghindari penularan COVID-19 di sekolah. Saat ini, pemerintah terus mempercepat target vaksinasi bagi guru dan tenaga kependidikan. Kemenkes juga sudah terbitkan surat edaran agar Pemda memprioritaskan vaksinasi pada guru dan pendidik.