TEMPO.CO, Jakarta - Epidemiolog UGM Bayu Satria Wiratama mengatakan tidak setuju penggunaan tes PCR atau polymerase chain reaction dan tes antigen sebagai syarat melakukan perjalanan. Baik itu untuk naik pesawat, bus, kereta api maupun moda transportasi lainnya.
Aturan yang mewajibkan penumpang pesawat tes PCR tercantum dalam Surat Edaran (SE) Nomor 88 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Aturan wajib tes PCR berlaku bagi penerbangan antar kota di Pulau Jawa dan Pulau Bali dan daerah yang menerapkan PPKM level 4 dan 3. Selain itu, seluruh wilayah di Pulau Jawa dan Bali yang masuk kategori PPKM level 4-1 wajib menunjukkan tes RT-PCR.
Sejak awal, kata Bayu, dirinya tidak setuju penggunaan tes PCR atau antigen sebagai syarat perjalanan. Alasannya, penggunaan antigen/PCR dinilai tidak efektif jika hanya digunakan pemeriksaan satu kali tanpa indikasi apapun misalnya indikasi kontak erat.
“Jadi, bagi saya itu langkah sia-sia," katanya seperti dikutip Tempo dari laman ugm.ac.id Selasa, 26 Oktober 2021.
Karena itu, ia menyesalkan Satgas Covid-19 selama tidak pernah melakukan evaluasi atau studi untuk membuktikan bahwa penggunaan antigen atau PCR efektif mencegah penularan lintas daerah.
Menurut Bayu, aturan yang mewajibkan tes PCR atau antigen sebagai syarat perjalanan ini hanya berlaku di Indonesia dan tidak ditemui di negara lain. Di negara-negara lain, kata Bayu tidak syarat tes PCC atau antigen untuk perjalanan domestik di dalam negeri.
Bayu menjelaskan hasil PCR atau antigen negatif tidak menjamin bahwa seseorang tidak sedang terinfeksi. Apalgi pemeriksaan hanya dilakukan sekali tanpa indikasi, dinilai lemah efektifitasnya.
Hal yang perlu ditekankan pemerintah melalui satgas Covid-19, kata Bayu adalah vaksin dan memakai masker serta sirkulasi udara yang baik.
Karena ia nilai tidak efektif, Bayu bahkan mengusulkan pencabutan aturan yang mensyaratkan tes PCR atau antigen dan dilanjutkan dengan melakukan evaluasi efektif atau tidak.
Menurutnya Bayu, acap kali Pemerintah Indonesia membuat kebijakan tanpa dilandasi alasan ilmiah yang kuat. Kalaupun kemudian ingin mengurangi jumlah penumpang atau membatasi mobilitas sebaiknya kembali saja dengan aturan pembatasan kapasitas.
“Jadi, tidak perlu dengan PCR. Belum lagi nanti ada permainan surat antigen atau PCR palsu yang hanya akan menguntungkan finansial para pembuat suratnya," katanya.
Yang harus dilakukan pemerintah, menurut Bayu adalah mendisiplinkan pemakaian masker untuk perjalanan jarak jauh, kapasitas penumpang 50 – 75 persen dengan diatur jarak antar penumpang, dan menyediakan ruangan khusus untuk makan yang terpisah dari tempat duduk khusus untuk kereta api.
Menurut dia, cara-cara itu lebih efektif dan membantu dibanding mewajibkan tes PCR. Hingga saat ini, penelitian di Indonesia tentang seberapa besar risiko tertular di transportasi publik masih kurang. "Karena kembali lagi pemegang datanya tidak mau melakukan evaluasi soal itu," katanya.
TIKA AYU
Baca juga: Harga Tes PCR dari Rp 2.500.000 di Awal Pandemi Kini Turun Jadi Rp 300.000
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.