TEMPO.CO, Jakarta - Kanker anak memang jumlahnya tidak besar di Indonesia, namun jumlah penyintas penyakit ini terus meningkat. Peneliti dari St Jude Children Hospital Amerika Serikat, Hiroto Inaba, mengatakan leukemia jenis ALL adalah jenis kanker yang paling sering ditemukan di semua jenis keganasan pada anak. "Angkanya sekitar 50-70 persen," katanya dalam webinar bertajuk Beban Global Leukemia Limfoblastik Akut (Acute Lymphoblastic Leukemia atau ALL) yang diselenggarakan oleh Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)- UKK Hematologi Onkologi Anak pada 28 Mei 2022.
ALL atau leukemia ini adalah adalah jenis kanker darah yang menyebabkan kelebihan produksi sel darah putih abnormal yang disebut limfoblas. Limfoblas ini beredar dalam aliran darah dan menyusup ke sumsum tulang, kelenjar getah bening, dan organ lain dalam tubuh. Akibatnya, fungsi normal sumsum tulang terpengaruh yang menyebabkan produksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit normal yang buruk.
Dengan ketepatan diagnosis dan terapi yang tepat, angka kesintasan ALL pada anak meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir terutama di negara-negara maju. Namun, hal ini tidak terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah. “Sebagai perbandingan, di Vietnam tingkat kesintasan hanya sekitar 47,8 persen sementara di Belgia mencapai 83,8 persen. Salah satu penyebabnya, terapi ALL di negara miskin dan berkembang masih mengandalkan rejimen kemoterapi yang toksik dan ini menjadi salah satu faktor penyebab angka kesintasan rendah,” kata Inaba.
Konferensi Pers Global View of Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia pada 28 Mei 2022
Inaba melanjutkan, faktor klinis yang menentukan kesintasan pasien ALL anak adalah usia.Angka kesintasan pasien ALL usia 1-9 jauh lebih baik dibandingkan pasien anak usia kurang dari 1 dan atau lebih dari 10 tahun.
Terapi Target dan Imunoterapi Meningkatkan Angka Harapan Hidup Pasien ALL Anak
Selain usia, faktor lain yang menentukan keberhasilan penanganan ALL adalah faktor genetik yang sangat kompleks dan rejimen pengobatan. Dari penapisan genetika sel-sel kanker, kemudian dikembangkan pengobatan yang lebih tepat sasaran, yaitu terapi target dan imunoterapi. Di masa depan, terapi ini, menurut Inaba, diharapkan bisa mengurangi penggunaan atau dosis terapi kemoterapi konvensional yang toksis dan tidak mudah ditolerir pasien. “Ada dilema dalam penggunaan rejimen kemoterapi konvensional, di satu sisi mungkin ini menjadi pilihan terai yang terjangkau dan tersedia di beberapa negara, namun sulit diolerir pasien karena efek sampingnya berat,” ujar Inaba.
Penambahan terapi target dan imunoterapi setelah kemoterapi, menunjukkan efek samping bisa ditekan. Angka kesintasan juga meningkat. Menurut Inaba, imunoterapi menjadi topik hangat saat ini karena obat ini menyasar antibodi yang sangat spesifik yang berperan besar dalam perkembangan sel-sel kanker. Sedangkan terapi target menyasar pada gen tertentu yang bermutasi dan menyebabkan ALL.
Oleh karena itu, sebelum memberikan terapi target, skrining atau penapisan gen penting dilakukan. Menurut Inaba, ada tiga kategori pasien ALL berdasarkan profil genetik sel kanker yakni risiko rendah, sedang, dan tinggi. Sekitar 25 persen pasien risiko rendah memiliki angka kesintasan sangat tinggi, lebih dari 97 persen, dengan pengobatan target.
Sayangnya obat-obatan ini masih sangat mahal, dan belum bisa jangkau untuk pasien di negara berpenghasilan menengah ke bawah.
Misdiagnosis dan Kanker Anak Belum Menjadi Prioritas di Indonesia
Dokter Spesialis Anak Konsultan, Eddy Supriyadi dari RSUP dr. Sardjito Yogyakarta memberikan pemaparan tentang beban ALL di Indonesia. Secara global, di tahun 1990-2017 ada kenaikan kasus ALL yang drastis, 49-64 kasus per 100 ribu penduduk. Angka kejadian di negara maju kasus cenderung turun dan sebaliknya kasus meningkat di negara menengah. Angka kematian secara global pun sama, terjadi penurunan signifikan di negara maju dan kenaikan di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Indonesia masuk dalam 30 negara yang kenaikan kasusnya tinggi, yakni meningkat 33 persen dari tahun 1990-2017. Data UKK Hematologi Anak IDAI menunjukkan, kasus ALL mencapai 36 persen dari seluruh kasus kanker anak tahun 2022. “Insiden ini menjadi salah satu tolok ukur beban suatu penyakit yang berkaitan dengan pembiayaan yang dikeluarkan rumah sakit maupun negara,” kata Eddy.
Berbicara tentang kanker pada anak secara umum, kata Eddy, data di Litbangkes Kemenkes 2019, menunjukkan prevalensi kanker anak kurang dari 2 persen. Ini menjadikan kanker anak belum menjadi prioritas pemerintah dari sisi pengobatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Khusus leukemia pada anak, tambah Eddy, masalah utama adalah meskipun kasus yang terus meningkat namun karena angkanya dianggap “kecil” maka belum menjadi prioritas program pemerintah. Hal ini menyebabkan penyediaan alat diagnostik, ketersediaan obat terbaru, unit kanker anak di rumah sakit, dan terapi suportif masih terbatas.
“Hal ini menjadi salah satu penyebab akurasi diagnosis rendah, bahkan antara jenis leukemia pun sering misdiagnosis, yang ini mencapai hampir 10 persen. Padahal salah diagnosis pun akan berlanjut pada salah pengobatan. Obat yang tersedia pun mayoritas masih memiliki toksisitas tinggi. Ini berkontribusi menambah beban penyakit ALL pada anak,” kata Eddy.
Inaba menyarankan, dengan masalah yang dihadapi negara menengah seperti Indonesia, perlu dilakukan berbagai upaya kerja sama dengan negara lain. Salah satu caranya melalui Yayasan filantropi kemanusiaan yang banyak memberikan bantuan akses pengobatan termasuk terapi target dan imunoterapi, ke negara berpenghasilan menengah dan rendah. Sebagian obat ini memang sudah ada di Indonesia, namun belum dicover BPJS.