TEMPO.CO, Jakarta - Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA menunjukkan pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh perempuan. Periode Januari-Juli 2022 terdapat 10.569 korban perempuan dan 1.769 laki-laki dari total 11.400 kasus dan korban anak sebesar 56,2 persen.
Masih tingginya kasus pelecehan seksual membuat psikolog Lia Sutisna Latif M.Psi menyebut perlu adanya edukasi pertahanan diri dari orang asing untuk anak, remaja, dan dewasa demi mencegah perilaku tersebut di ruang publik.
"Penting untuk mengedukasi masyarakat dan berbagai kalangan, sehingga mereka tahu 'Oh ini yang harus aku lakukan.' Karena boleh saja kita memiliki pertahanan diri dari orang asing, itu harus dan sangat perlu," ucap Lia.
Contoh, Lia menyebutkan anak dapat diajari selalu bersama orang tua ketika sedang di ruang publik. Kemudian, untuk anak-anak yang berada di ruang publik bersama teman, ia menyarankan tidak boleh berada di satu tempat sendirian.
"Kemudian, jika ada seseorang yang menawarkan (minuman) di bar atau kafe jangan mudah menerima sesuatu atau misalnya pura-pura berkenalan, bisa dijawab singkat tetapi sopan,” ucap Lia.
Dosen psikologi forensik di PTIK itu mengatakan dari sejumlah kasus dan penelitian yang dia pelajari, terdapat tiga tipe pelaku pelecehan seksual. Yang pertama adalah latar belakang kepribadian pelaku, pola perilaku, atau kebiasaan dan karakter demografis seperti tempat terbuka yang banyak orang atau yang sepi.
Selain itu juga ada tipe terorganisasi, yaitu orang yang merasa mempunyai kedudukan sehingga memanfaatkan korban yang terlihat lemah. Ada juga tipe pelaku impulsif dan berani ambil risiko, misalnya di angkutan umum. Yang terakhir oportunistik, yaitu tipe yang memanfaatkan keadaan seperti ruang publik yang sepi.
“Biasanya profil-profil pelaku seperti ini, dia ada kemarahan, punya perilaku merusak, dan ada kepribadian yang antisosial,” ucapnya.
Banyaknya pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik membuat masyarakat sekitar harus turut andil dalam mengatasi kejadian tersebut. Jika melihat tindak pelecehan seksual, Lia meminta masyarakat dapat segera menarik korban dari pelaku dan membawanya ke tempat ia bisa menenangkan diri.
“Yang paling penting kita membuat aman korban dulu, kita tarik, tanya 'Kamu tidak apa-apa?' atau tiba-tiba menangis, kita coba tenangkan. Yang lain bantu menangani pelaku. Tapi yang paling penting adalah bagaimana membuat nyaman dan diterima si korban dulu, yang harus kita utamakan,” tambah Lia.
Sementara itu, pada anak-anak, dampak psikologis yang dirasakan biasanya adalah rasa malu, merasa bersalah karena mengizinkan pelaku melakukan hal itu tanpa dia sadari, takut bertemu orang dewasa, bermimpi buruk karena memori yang tidak menyenangkan, dan frustasi. Dampak yang sama juga bisa berlaku pada korban remaja dan orang dewasa.
Humas APSIFOR itu juga mengatakan peran orang tua sangat penting untuk mencegah pelecehan seksual terhadap anak. Penelitian mengatakan salah satu terjadinya pelecehan seksual yaitu orang tua kurang perhatian atau kewaspadaan terhadap keberadaan anak di tempat umum.
“Pendidikan seksual juga boleh sejak dini. Tidak melulu itu pengenalan reproduksi. Misalnya, anak mulai umur 3 tahun, karena sudah mulai mengenal orang dewasa, anak mulai berinteraksi, baru kita perkenalkan, siapa yang bisa kamu kenal (orang tua atau dokter),” jelasnya.
Lia mengatakan tidak banyak korban pelecehan seksual yang bisa langsung melapor jika mengalami pelecehan seksual, terutama perempuan. Banyak pertimbangan yang dihadapi, salah satunya butuh fase untuk menenangkan diri dan takut pada sikap publik. Dukungan orang terdekat juga sangat penting pada fase ini.
“Tidak semua siap untuk melaporkan, jadi tergantung dari pribadi masing-masing,” kata Lia.
Baca juga: Saran Psikolog agar Anak Terhindar dari Pelecehan Seksual