TEMPO.CO, Jakarta - Penanganan disabilitas kusta masih menjadi tantangan yang harus diselesaikan. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan pentingnya deteksi dini dalam menangani penyakit kusta di Indonesia.
"Saya kira deteksi dini itu sangat penting sekali kita lakukan. Begitu dapat, langsung diobati maka tuntas sehingga tidak akan menimbulkan disabilitas," katanya dalam acara bertajuk "Lokakarya Nasional Dalam Rangka Memperingati Hari NTDs 2023" di Jakarta, Senin, 30 Januari 2023.
Pihaknya mengatakan kasus cacat tingkat 2 di Indonesia jumlahnya kecil. Namun semestinya jumlahnya nol kasus.
"Kalau kusta masih ada disabilitas, itu menurut saya kita masih gagal. Hampir 6 persen ditemukan (disabilitas akibat kusta). Zaman sekarang kalau obatnya sudah ada, tapi kalau masih ada disabilitas tingkat 2, itu berarti kita masih boleh dikatakan gagal," jelasnya.
Kerusakan saraf progresif
Kondisi disabilitas pada penderita penyakit kusta bisa terjadi bila penyakit tidak segera diobati sehingga mengakibatkan kerusakan saraf progresif yang berujung pada disabilitas. Maxi menambahkan Indonesia termasuk tiga negara penyumbang kasus kusta tertinggi di dunia selain Brasil dan India. Di Indonesia, prevalensi kusta sudah di bawah target, yaitu lebih kecil dari satu per 10.000 penduduk.
Baca Juga:
"Tapi pada tahun 2022 menunjukkan masih ada tujuh provinsi dan 118 kabupaten/kota yang belum eliminasi kusta, yang artinya prevalensinya masih lebih dari satu di antara 10.000 penduduk," ujarnya.
Baca juga: Asal-usul Hari Kusta Sedunia dan Mengenali Tema Peringatan Tahun 2023