TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah artikel jurnal psikologi berjudul “The physical sacrifice of thinking: Investigating the relationship between thinking and physical activity in everyday life” mengungkapkan hubungan antara kemampuan berpikir dan aktivitas fisik. Jika seseorang melakukan pekerjaan dengan sedikit usaha, itu bukan berarti mereka bodoh. Mereka hanya sangat malas dan mungkin cerdas.
Benarkah Orang Malas Cenderung Pintar?
Penelitian oleh Todd McElroy, seorang profesor di Florida Gulf Coast University, pada 2015 ini mengklaim bahwa orang yang menghabiskan lebih sedikit waktu untuk berpikir biasanya lebih aktif secara fisik dibanding mereka yang lebih suka menggunakan kekuatan otak saja. Gagasan ini mungkin sesuai dengan stereotip seorang kutu buku yang tidak gemar berolahraga. Namun, ada bukti ilmiah yang lebih menjelaskan walau akan sedikit rumit.
McElroy bersama tim penelitinya dari Appalachian State University mempelajari aktivitas fisik 60 mahasiswa yang dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok terdiri atas mereka yang memiliki kebutuhan kognisi tinggi, sementara yang lain kebutuhan kognisi rendah. Kebutuhan kognisi sendiri didefinisikan sebagai kecenderungan subjek untuk terlibat dan menikmati usaha kognitif yang penuh usaha.
Dengan kata lain, para peneliti menemukan bahwa orang yang senang memecahkan teka-teki memiliki kebutuhan kognisi tinggi. Sebaliknya, orang dengan kebutuhan kognisi rendah lebih memilih tugas-tugas biasa yang tidak merangsang pikiran.
Subjek dipasangi sebuah perangkat pelacak aktivitas (activity tracker) yang akan merekam gerakan mereka setiap 30 detik. Setiap orang memperoleh 20.000 poin data yang kemudian digunakan untuk membandingkan tingkat aktivitas di kedua kelompok. Hasilnya, terdapat perbedaan substansial antara orang dengan kebutuhan kognisi tinggi dan rendah.
Selama seminggu, mereka yang memiliki kebutuhan kognisi rendah jauh lebih aktif daripada mereka yang memiliki kebutuhan kognisi tinggi. Pada akhir pekan, data menghasilkan lebih sedikit perbedaan, yang menunjukkan bahwa kedua kelompok cenderung bersantai.
Akan tetapi, perlu menjadi catatan bahwa tingkat kognisi bukanlah cerminan dari kecerdasan seseorang. Orang dengan kecerdasan intelektual lebih rendah dapat menikmati kehidupan kontemplatif dan tantangan kognitif yang baik, begitu pula orang yang kecerdasan intelektualnya tinggi tidak suka menggunakan otak mereka dengan cara yang menantang.
Penyebab Orang Menjadi Malas
Lantas, apa sebenarnya alasan seseorang menjadi malas? McElroy percaya bahwa motivasi adalah faktor utama dalam menjalani aktivitas fisik. Seseorang dapat memilih berlama-lama melakukan aktivitas fisik demi menghindari tugas mental yang menantang, misal jalan kaki sepuluh menit ketika mereka seharusnya menyelesaikan laporan setebal 20 halaman. Lucunya, penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat tidak boleh menilai orang yang suka bersantai sebagai pemalas.
“Hanya karena Anda terlihat malas, atau apa yang dianggap malas oleh orang lain, Anda sebenarnya mungkin terlibat dalam beberapa jenis pemikiran dengan motivasi lebih tinggi,” kata McElroy.
Di sisi lain, orang cerdas juga menyadari risiko kesehatan dari gaya hidup malas meskipun mereka mungkin tidak menginginkannya. “Jika Anda terus terlibat dalam aktivitas berpikir dan berpikir, biasanya Anda tidak bergerak (secara fisik).”
McElroy dan tim penelitinya berencana untuk menyelidiki subjek lebih lanjut dalam upaya menemukan apa yang mereka lakukan saat tidak bergerak secara fisik. Belum ada bukti kuat untuk pernyataan “orang malas cenderung lebih pintar” ataupun “orang pintar cenderung lebih malas”, hanya saja memang ada sejumlah variabel yang berhubungan di antara keduanya.
Pilihan Editor: Terasa Malas Saat Berkelompok, Apa Itu Kemalasan Sosial?
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.
NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM | D’Marge