TEMPO.CO, Jakarta - Heatwave alias gelombang panas adalah fenomena cuaca yang menimbulkan kondisi panas berlebihan dan berbahaya bagi keberlanjutan hidup manusia, hewan, maupun tumbuhan. Heatwave terjadi ketika suhu udara naik secara signifikan di wilayah tertentu selama beberapa pekan. Dampak heatwave yang ekstrem mencakup kekeringan, dehidrasi, hingga kematian.
Pada Maret 2023, heatwave kembali melanda sebagian wilayah Asia, terutama Asia Selatan dan Asia Tenggara, dan menjadi yang terpanas dalam beberapa dekade terakhir. Puncak panasnya sampai pada April 2023 ketika setidaknya 13 warga India meninggal dunia dan puluhan lainnya masuk rumah sakit. Dua laporan kematian di Thailand juga menyusul dilaporkan.
Lantas, apa saja fakta-fakta tentang heatwave yang terjadi di Asia pada awal 2023 ini? Simak ulasan berikut dilansir dari berbagai sumber.
1. Tak hanya Asia Selatan dan Asia Tenggara
Heatwave Asia 2023 paling parah terjadi di India, Bangladesh, China, Thailand, dan Vietnam. Namun, beberapa negara di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan juga mengalami suhu panas tak biasa sepanjang pertengahan April. Temperatur di dua negara tersebut mencapai 30 derajat celsius ketika normalnya hanya berkisar 5–20 derajat celsius.
2. Rekor Suhu Tertinggi di Thailand
Suhu Thailand menyentuh angka 45 derajat celsius, menjadi rekor suhu tertinggi sepanjang masa di negara tersebut. Walau temperaturnya cenderung lebih tinggi daripada India, korban jiwa akibat panas tercatat lebih sedikit, yakni 2 orang, sedangkan warga India yang meninggal dunia mencapai 13 orang.
3. Pemerintah India dan Thailand Lakukan Mitigasi
Melansir dari reliefweb.int, Beberapa negara bagian di India menghentikan sementara aktivitas pendidikan. Di Thailand, para pejabat kesehatan juga mengimbau warga untuk tinggal di rumah untuk menghindari sengatan panas. Para ahli memperingatkan bahwa heatwave diproyeksikan masih akan berlanjut hingga awal Mei.
4. Penyebab Heatwave Bisa Terjadi
Perubahan iklim adalah penyebab utama heatwave, baik yang berintensitas rendah, parah, maupun ekstrem. Anggapan gelombang panas ekstrem 100 tahun lalu akan 30 kali lebih mungkin terjadi sekarang dengan tingkat pemanasan global saat ini.
Selain itu, udara yang lebih hangat seringkali disertai kelembapan dengan menahan dan memindahkan air yang menguap dari tanah, tumbuhan, dan lautan ke atmosfer. Kombinasi panas dan kelembapan ekstrem, atau yang disebut suhu “bola basah” (wet-bulb), menjadikan gelombang panas lebih berbahaya bagi kehidupan manusia.
5. Dampak Heatwave secara Luas
Melansir dari adb.org, lebih dari 6.500 orang meninggal dunia akibat suhu panas di India sejak 2010. Saat serangan panas 2018 di Jepang, tercatat 138 kematian dan lebih dari 70.000 orang memerlukan rawat inap. China pun mengalami panas menyengat pada 2022 lalu yang kemudian disertai banyak laporan kematian.
Pada bidang industri pertanian, hampir setengah pasokan gandum di sejumlah provinsi India pernah hilang akibat gelombang panas. Gelombang panas juga dapat memicu bencana alam yang merusak tanaman dan ternak—seperti kekeringan atau kebakaran hutan—hingga timbul kerawanan pangan.
Selama gelombang panas, penyejuk udara terus-menerus digunakan di tengah kota, tetapi banyak daerah pinggiran yang justru menjadi kekurangan energi listrik. Konsumsi batu bara—sumber utama pembangkit listrik di Asia Selatan—pun meningkat. Bertambahnya emisi gas rumah kaca turut memperparah dampak perubahan iklim dalam jangka panjang.
Infrastruktur pun ikut rusak parah akibat gelombang panas. Misalnya, luapan banjir Glacial Lake yang disebabkan oleh heatwave pada Maret 2022 telah menghancurkan jembatan, pembangkit listrik, selusin rumah, dan pusat komunitas di Pakistan. Bahkan di China, suhu atmosfer yang panas telah membuat jalan tertekuk, tar meleleh, dan genteng pecah di banyak kota.
6. Solusi Jangka Panjang untuk Heatwave di Asia
Penyebab mendasar dari heatwave adalah perubahan iklim dan pemanasan global. Maka dari itu, solusi jangka panjang untuk gelombang panas tentu berkaitan dengan ketahanan iklim serta jalur pengurangan emisi gas rumah kaca.
Transisi ke energi bersih, peningkatan penggunaan teknologi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik, hingga pengendalian plastik dan polusi adalah segelintir contoh untuk beradaptasi dengan heatwave yang telah terjadi. Solusi terintegrasi dari sektor multidimensi seperti lingkungan, pertanian, energi, dan kesehatan tentu perlu dikolaborasikan.
Penyebab jangka panjang yang mendasar juga perlu ditangani. Jika tidak, heatwave di masa depan bisa jauh lebih hebat.
Pilihan editor: BMKG Pastikan Suhu Panas 37,2 Derajat Celsius di Ciputat Bukan Fenomena Heatwave
NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM