TEMPO.CO, Jakarta -Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menjelaskan laporan ilmuwan tentang temuan COVID-19 paling bermutasi (most mutated version) di Indonesia merupakan bukti eksistensi virus corona di tengah endemi. Varian yang dimaksud merupakan turunan dari strain varian Delta yang diambil dari tes usap pasien di Jakarta.
"Kami selalu sampaikan bahwa COVID-19 masih ada dan kemungkinan bermutasi masih ada. Kita selalu imbau untuk tetap waspada walaupun di era endemi ini," ujarnya.
Sepanjang vaksinasi berjalan dengan baik, masyarakat tidak perlu cemas terhadap varian apapun yang muncul kecuali bila terjadi jarak yang cukup jauh antara jumlah varian dengan penerima vaksin. Ahli virologi di Universitas Warwick, Profesor Lawrence Young, menemukan 113 mutasi varian Delta dari seorang pasien COVID-19 di Jakarta.
"Virus ini terus mengejutkan kami dan berpuas diri itu berbahaya. Ini menyoroti masalah hidup dengan virus," kata Young kepada Daily Mail.
Diketahui virus dari pasien tersebut dikirim ke data penelitian genetik global pada awal Juli 2023 dan diyakini berasal dari kasus infeksi kronis.
Peluang kecil picu lonjakan kasus
Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Griffith Autralia, Dicky Budiman, menyebut virus SARS-COV-2 penyebab COVID-19 dengan lebih dari 100 kali mutasi di Indonesia berpeluang kecil memicu lonjakan kasus seperti di awal pandemi.
"Kalau ke depan terjadi mutasi, cukup sulit secara teoritis dan historis adanya varian yang akhirnya mengembalikan keadaan seperti saat awal pandemi, itu kecil kemungkinan," kata Dicky.
Menurutnya, endemi COVID-19 bukan berarti virus penyebab kasus hilang. Sistem mitigasi di Indonesia yang kian menurun membuka celah SAR-COV-2 atau virus corona baru untuk terus bermutasi. Selama masih terjadi infeksi, di situ terjadi peluang mutasi SARS-COV-2 pada beberapa wilayah karena pengaruh infeksi ulang di masyarakat.
"Tapi, dampaknya tidak ada potensi serius karena mutasi yang berdampak serius bila menyebabkan keparahan secara signifikan atau kematian dengan artian dia bisa tembus benteng imun, baik hibrida maupun vaksinasi. Itu yang sekarang belum terjadi," paparnya.
Dicky menambahkan imun merupakan hal yang sangat kompleks dalam tubuh sehingga tidak mudah bagi virus yang bukan baru lagi memicu dampak lebih serius. Namun, yang perlu dikhawatirkan jika terjadi mutasi pada varian MERS atau virus SARS yang kali pertama muncul di dunia.
"Kalau MERS atau SARS bermutasi, itu bisa memberikan dampak serius," katanya.
Ia mengimbau masyarakat tidak panik sebab mutasi COVID-19 yang kini terjadi tidak memberikan dampak serius tapi tetap waspada bagi kelompok berisiko dengan cara vaksinasi booster. Selain itu, masyarakat umum juga diimbau mencegah penularan dengan memakai masker, menghindari kerumunan yang tidak perlu, serta tingkatkan kualitas udara.
"Itu penting untuk mencegah mutasi yang bisa merugikan," ujarnya.
Pilihan Editor: Alasan Pakar Sebut Istilah Pencabutan Pandemi Tidak Tepat