TEMPO.CO, Jakarta - Maraknya judi online merupakan potret kemiskinan kultural. Tokoh perempuan Jawa Timur, Lia Istifhama, menilai tidak salah jika ada sebutan Indonesia darurat judi online. Istilah itu kini gencar mewarnai pemberitaan sehingga perhatian publik pun semakin tersedot dengan pemberitaan tersebut.
"Saya mengapresiasi penegakan hukum terhadap praktek judi online itu," katanya.
Terlebih, kasus judi online menjerat puluhan artis yang harus menjalani pemeriksaan di Mabes Polri pascapengaduan oleh Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (ALMI). Tak tanggung-tanggung, artis yang diduga pernah mempromosikan judi online disebutkan oleh ALMI mendapatkan imbalan Rp 10-100 juta untuk setiap video promosi yang rata-rata durasinya tidak mencapai 1 menit.
Terkuaknya praktek judi online membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerintahkan perbankan untuk memblokir rekening yang terlibat judi tersebut. Lia mengatakan tindakan tegas patut diapresiasi karena judi online salah satu kejahatan siber yang jelas merugikan masyarakat.
"Alih-alih masyarakat bisa dapat untung, malah buntung. Pendapatan yang didapat oleh penyedia judi online justru bersumber dari uang masyarakat, uang rakyat. Jadi, kalau bicara pencuri uang rakyat, inilah pencuri sesungguhnya, yaitu penyedia judi online," ujar bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan Jawa Timur itu.
Orang kecil jadi korban
Doktoral Ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) ini juga menyayangkan judi online yang hanya mencekik orang kecil yang tergoda praktek tersebut.
"Ini bisnis tipu-tipu yang kejam. Mereka hanya membohongi masyarakat, merekayasa dan menipu dengan segala bujuk rayu agar masyarakat mau menaruh uang. Uang yang diputar-putar oleh sistem judi online melalui slot ujungnya justru menggerus uang rakyat yang terlanjur terkena tipu daya," paparnya.
Lia mengaku prihatin banyak yang kecanduan judi online yang berasal dari kalangan menengah bawah, mungkin karena himpitan ekonomi. Apalagi namanya manusia, ingin mendapatkan uang secara mudah dan instan, sangat rentan jika kemudian terbujuk rayu promosi judi online.
"Apalagi, jika dimulai dari nominal yang rendah, yaitu Rp 10 ribu. Tapi kemudian dari uang Rp 10 ribu inilah bencana bisa datang, yaitu bujuk rayu dan rekayasa iming-iming uang besar dari penyedia judi online, yang akhirnya membuat pengguna lupa diri dan kecanduan," ucap keponakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Prawansa ini.
Mudahnya judi online membuat orang terbuai. Hal itu sebagai bentuk mispersepsi istilah pendapatan pasif. Istilah itu diterapkan dalam judi online berkedok investasi atau bisnis, telah mengaburkan arti sesungguhnya dalam pendapatan pasif, bahwa yang namanya penghasilan harus didapat dari bekerja.
Kalaupun penghasilan dari investasi, maka investasi yang jelas, nyata, dan terlegitimasi secara hukum atau sah di hadapan negara. Jika kemudian ternyata masih banyak yang terpedaya ingin memiliki pendapatan pasif secara instan tanpa bekerja, yaitu hanya menaruh uang lantas diputar-putar oleh pihak tertentu, ini namanya kemiskinan kultural.
"Ini model kemiskinan yang dibuat dengan cara rekayasa pola pikir bahwa orang bisa kaya tanpa harus bekerja melainkan bermodal percaya belaka atas uangnya kepada pihak tertentu. Jadi, judi online merupakan rekayasa pendapatan pasif zaman now dan membuktikan masih suburnya sikap kemiskinan kultural," tandasnya.
Pilihan Editor: Pilihan Terapi dan Pencegahan untuk yang Kecanduan Judi