TEMPO.CO, Jakarta - Para petani acapkali menggunakan pupuk kimia demi menunjang keberhasilan pada musim panen. Padahal, menurut sci.ui.ac.id, pupuk kimia dalam konsentrasi tinggi menimbulkan dampak terbunuhnya mikroorganisme dan senyawa organik lain yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang tanaman tersebut. Maka sebaiknya diganti dengan pupuk organik, salah satunya limbah kulit semangka.
Selain itu, risiko hasil panen akan terkontaminasi bahan kimia bila tidak dibersihkan secara optimum. Oleh karena iru dianjurkan untuk lebih mengutamakan pemberian pupuk organik yang alami. Salah satunya dari limbah kulit semangka yang terbuang percuma, meskipun organik limbah tetaplah limbah yang membuat lingkungan kurang enak dipandang.
Menurut Jurnal Pengabdian Masyarakat, pupuk organik cair lebih mudah diserap zat haranya dan tidak merusak tanaman. Pengolahan limbah kulit semangka menggunakan kulit semangka yang sudah dalam tahapan pembusukan karena kaya akan unsur mikroorganisme yang memiliki sejumlah dampak positif seperti halnya fiksasi nitrogen, dekomposisi tanah, degradasi racun, penghasil antibiotik, dan lainnya.
Masih dikutip dari sumber yang sama, pembuatan pupuk cair diawali dengan pemotongan kulit semangka bagian isinya. Setelah itu daging kulit semangka diambil sari air yang masih tersisa dan difermentasi selama 3 hari tidak kedap udara dalam botol plastik dengan tutup atasnya dilubangi. Setelah itu, pupuk dari limbah kulit semangka sudah dapat diaplikasikan pada tanaman.
Diketahui pupuk cair limbah kulit semangka yang difermentasi selama 14 hari, kaya akan nitrigen (0.09%), fosfor (0.12%), kalium (0.34%), dan zat unsur hara lain yang diperlukan oleh tanaman. Pupuk ini mudah dibuat dalam skala rumahan dan tidak membutuhkan biaya besar untuk produksinya.
Hasil tanaman akan tampak lebih subur, segar, dan cepat berkembang biak dibanding tanaman yang tidak diberikan pupuk cair limbah kulit semangka.
Pilihan editor: Mengenal Semangka Densuke, Semangka Paling Mahal Asal Jepang Seharga Puluhan Juta Rupiah