TEMPO.CO, Jakarta - Menetapkan resolusi Tahun Baru harus dibarengi pemetaan diri dan memahami kemampuan sendiri. Begitu saran psikolog dan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim M.Psi.
"Karena yang buat kita stres, frustasi, itu diri sendiri, internal kita. Apa yang terjadi pada diri kita, manusia punya kontrol diri, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan, apa yang harus dia paksa karena merasa mampu dan apa yang tidak memungkinkan. Memahami diri atau self awareness itu penting banget untuk membuat resolusi," katanya.
Baca juga:
Psikolog yang akrab disapa Bunda Romi itu mengatakan resolusi Tahun Baru harus mengetahui pemetaan diri dan target, mana yang menjejak bumi atau masih bisa digapai dan mana yang tidak. Hal itu harus dirangkum oleh orang itu sendiri untuk analisisnya agar bisa tercapai yang diinginkan.
Selain itu, setelah liburan akhir tahun, Romi mengatakan orang harus menanamkan persepsi awal tahun dijadikan sebagai penyemangat untuk memperbaiki kekurangan di tahun sebelumnya dan menjadi pribadi yang lebih baik.
"Kita harus mengatur kepala bahwa memang menyiasati tahun baru harus ada perubahan yang memang jadi kekurangan atau kelemahan di tahun 2023," jelasnya.
Baca juga:
Ia mengatakan perayaan tahun baru harus dijadikan pertanda kita bahagia dan senang serta bersemangat seperti baterai yang baru diisi daya. Kejadian yang banyak terjadi di tahun sebelumnya seperti kelelahan, banyak masalah, maupun kebahagiaan harus dijadikan semangat untuk menjalani hari di tahun berikutnya dengan lebih baik. Namun, penyemangat tersebut jangan serta merta menjadikan terlena bahwa kehidupan harus dijalani dengan suka cita dan perayaan semata.
Perhatikan perubahan emosi
Romi mengingatkan semua perayaan yang dijalani adalah hasil kerja keras sepanjang 2023. Kebanyakan orang juga merasa perayaan Tahun Baru hanya berselang beberapa hari dan saat kembali masuk kerja atau beraktivitas ada perubahan emosi dari positif menjadi negatif dan berujung stres.
Ia mengatakan hal itu harus disiasati dengan pemikiran secara nalar bahwa tidak memungkinkan sepanjang tahun ada kemeriahan. Dan emosi negatif yang timbul harus dihilangkan dan diubah menjadi semangat dan akan mendapat kebahagiaan atau penghargaan jika sudah bekerja keras.
"Menjadi stres kalau dia persepsikan sepanjang tahun harus dengan kemeriahan yang didapat di akhir tahun, secara nalar sudah harus berpikir itu tidak mungkin. Yang memungkinkan orang bekerja keras sebagai reward untuk dirinya sendiri, dia boleh jalan-jalan, liburan," ujarnya.
Guru Besar Tetap Ilmu Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini mengatakan pesta akhir tahun tentu menimbulkan kebahagiaan dan jadi peningkat suasana hati untuk menjelang tahun yang baru. Pergunakan semangat awal tahun untuk mengubah diri menjadi lebih baik dan memperbaiki masalah seperti kesehatan dan mulai rutin berolahraga. Romi juga mengingatkan untuk selalu makan makanan bergizi seimbang seperti karbohidrat dan protein agar tetap bugar menjalani aktivitas.
Pilihan Editor: Dampak Bikin Resolusi Tahun Baru Tak Realistis Menurut Psikolog