TEMPO.CO, Jakarta - Jurnal kesehatan internasional Nature 21 Mei 2024 merilis artikel berjudul A global pandemic treaty is in sight: don’t scupper it. "Artikel tersebut membahas tentang negosiasi alot dan panjang yang mengatur pandemi, baik dalam bentuk persetujuan, konvensi ataupun traktat pandemi (“pandemic treaty”)," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada 24 Mei 2024.
Menurutnya, ada 5 hal sehubungan perkembangan Traktat Pandemi sekarang ini, seperti yang dibahas Jurnal Nature di atas.
"Pertama, bila berhasil difinalkan maka bentuknya mungkin adalah akan seperti konvensi Persatuan Bangsa Bangsa yang lain," katanya.
Tjandra Yoga mengatakan keputusan dalam traktat pandemi akan dibuat dalam pertemuan berkala “conferences of the parties”, seperti misalnya “UN climate conferences”. "Pihak Badan Kesehatan Dunia alias (WHO) akan bertindak sebagai sekertariat, selain berbagai fungsi lain yang kini diemban dalam kesehatan masyarakat global," katanya.
Perkembangan kedua adalah hingga kini masih ada beberapa hal yang masih belum ada kesepakatan. "Seperti artikel 11,12 dan 13 dalam draft traktat pandemi ini," katanya.
Lalu pada Artikel 11 membahas tentang pengaturan transfer teknologi yang memungkinan negara berpenghasilan rendah dan menengah ketika pandemi dapat memproduksi produk kesehatan yang diperlukan, seperti obat, vaksin dan alat tes diagnosis dalam waktu singkat. Tjandra Yoga menilai transfer teknologi ini jangan sampai terlambat dan korban sudah terlanjur jatuh," katanya.
Hal keempat adalah artikel 12. Pasal ini mengatur proposal dimana negara diminta segera menyerahkan sampel dan sekuen genomik dari patogen yang berpotensi pandemik, tetapi juga perlu dibarengi dengan menerima berbagai produk kesehatan yang diperlukan untuk mengatasi pandemi dalam biaya yang terjangkau atau bahkan percuma. Menurut Tjandra Yoga, soal penyerahan sampel patogen ini masih alot pembahasannya karena harus diimbangi dengan teknologi transfer. Kondisi ini kerap menjadi tantangan bagi negara-negara yang banyak melakukan riset dan produksi bahan farmakologik.
Terakhir adalah artikel 13 yang juga masih alot dibahas. Aturan di pasal ini membahas tentang negara-negara harus mempublikasikan persetujuan pembelian (“purchase agreements”) dengan perusahaan yang memproduksi obat, vaksin dan tes diagnosis, untuk menjamin terlaksananya prinsip transparansi. "Kalau tidak ada transparansi semacam ini maka produsen dapat saja menentukan harga sesuai keinginan mereka sehingga nantinya hanya negara kaya yang bisa dapat produk kesehatan yang diperlukan untuk menangani pandemi, sementara negara berkembang akan terlantar jadinya, atau setidaknya amat lambat menerima obat dan vaksin yang diperlukan," kata Tjandra Yoga khawatir.
Saat ini beberapa pertemuan lanjutan terus dilakukan sebelum akhirnya versi terakhir akan diajukan ke Sidang Kesehatan Dunia “World Health Assembly (WHA) ke 77” 27 Mei–1 Juni 2024 yang akan dihadiri menteri kesehatan dan delegasi seluruh anggota Badan Kesehatan Dunia, termasuk Indonesia. "Masih akan ada negosiasi dan pembahasan, dan kita akan akan lihat apakah sesudah WHA selesai pada 1 Juni maka dunia memang sudah akan memiliki Traktat Pandemi atau ada bentuk lainnya," katanya.
Kemungkinan untuk adanya pandemi dari suatu penyakit tertentu bisa aja terjadi. Sayang hingga saat ini masa pandemi itu tidak ada yang tahu kapan. "Kita tidak tahu penyakit apa yang jadi wabah dan kapan pandemi mendatang, untuk itu kita harus siap, lebih siap dari keadaan sekarang ini," katanya.
Pilihan Editor: Dana Pandemi Diluncurkan, Terkumpul Rp 21 Triliun