TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andhika Ajie Baskoro menyebut perlunya pendidikan seksual yang komprehensif diberikan kepada kelompok usia remaja untuk mencegah perilaku seksual berisiko pada usia tersebut. Ia menyadari sebagian masyarakat masih menganggap pendidikan seksual sebagai sesuatu yang mendorong anak untuk melakukan hubungan seksual. Namun anggapan tersebut sebenarnya sudah dipatahkan oleh banyak studi yang menunjukkan fakta sebaliknya.
“Sebenarnya pendidikan seksualitas memberikan pemahaman yang baik sehingga nantinya mereka akan dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab,” kata Andhika dalam webinar di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024.
Menurutnya, hingga saat ini pendidikan seksual di Indonesia masih belum komprehensif. Pada 2015, ia bersama tim membawa hasil studi terkait pendidikan seksual ke Mahkamah Agung (MA) yang diharapkan bisa menjadi formasilasi pendidikan seksual di sekolah.
Sayangnya, saat itu permohonan ditolak MA karena dianggap terlalu vulgar dan sensitif. Materi-materi pendidikan seksual dianggap masih bisa disisipkan ke dalam mata pelajaran lain seperti biologi, penjaskes, sosiologi, dan lainnya. Ia menilai, pendidikan seksual di Indonesia hingga saat ini masih terbatas pada aspek-aspek biologis dan belum banyak membahas aspek-aspek lain, termasuk konsep persetujuan di dalam isu seksualitas.
Andhika juga menekankan pentingnya peran orang tua untuk melakukan pengawasan serta membuka keran diskusi yang aman dan bebas dari penghakiman terkait isu seksualitas. Hal ini sejalan dengan banyaknya studi yang menunjukkan sebenarnya anak menganggap orang tua sebagai sumber primer dalam pencarian informasi. Namun kenyataannya, banyak anak yang tidak mendapatkan informasi seksualitas dari orang tua dan justru mendapatkannya teman-teman sebaya dan internet.
Di sisi lain, Andhika menyadari masih terdapat tantangan pelibatan orang tua dalam penyampaian edukasi seks, yakni adanya ketidaksetaraan sumber informasi karena perbedaan kelas sosial dan latar belakang pendidikan.
“Bagi orang tua di kelas tertentu dan dari latar belakang pendidikan tertentu, mungkin relatif mudah untuk mencari bahan-bahan atau informasi-informasi terkait seksualitas. Sementara orang tua dari kelas tertentu dan latar belakang pendidikan tertentu, sulit untuk mencari bahan tentang isu seksualitas dan kemudian juga menjadi sulit untuk menyampaikan ke anak,” jelas Andhika.
Pengaruh internet
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, jumlah penduduk berusia remaja atau 15-19 tahun mencapai 22 juta jiwa. Dengan banyaknya jumlah tersebut, Andhika mengingatkan pentingnya Indonesia menginvestasikan masa depan pada kelompok usia remaja, salah satunya melalui edukasi seks yang komprehensif.
“Proporsi remaja yang cukup tinggi di Indonesia sebenarnya menjadi modal yang sangat penting dan krusial untuk mewujudkan visi Indonesia Emas,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan remaja cukup unik karena dalam fase ini terjadi perubahan yang cukup drastis, baik secara biologis, emosional, maupun sosial. Secara alami, remaja juga cenderung memiliki sifat yang impulsif, mencoba untuk mencari jati diri, dan memiliki keinginan mencoba hal-hal baru.
Penetrasi internet pada remaja juga tinggi. Andhika mengatakan internet memang tidak serta merta meningkatkan risiko remaja terlibat ke arah perilaku seksual berisiko tapi bergantung pada konten yang dikonsumsi. Namun, sejumlah studi literatur menunjukkan paparan terhadap konten pornografi menjadi salah satu faktor penentu yang berasosiasi pada peningkatan perilaku seksual berisiko.
Karena itu, dibutuhkan pendidikan seksual komprehensif bagi remaja. Andhika juga menegaskan pendidikan seksual pada dasarnya merupakan upaya pembekalan kepada remaja sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang didasarkan pada pengetahuan.
Pilihan Editor: Perlunya Orang Tua Memberi Pendidikan Seksual pada Anak