TEMPO Interaktif, Bandung - Bagi petani, tutut atau keong sawah merupakan binatang hama perusak tanaman padi. Hewan melata bercangkang hitam kehijau-hijauan dan konon berasal dari Amerika Latin ini gemar melahap batang padi. Tapi, bagi sebagian orang, terutama pemburu makanan Sunda, tutut bisa menjadi pelepas rindu kampung halaman.
Kandungan gizi siput tutut amat tinggi. Daging siput yang liat ini mengandung protein dalam kadar tinggi. Pengolahannya sama dengan mengolah daging bekicot. Bedanya, tutut tak perlu digoreng atau dibakar dulu, tapi langsung direbus.
Namun tidak mudah mencari restoran yang menyajikan tutut. Soalnya, tak banyak orang yang menilik potensi bisnis itu dan bersedia berpayah-payah mencari keong di kubangan lumpur. Di Bandung, ada restoran yang masih menyajikan menu tradisional Sunda berumur tua itu.
Mang Barna, 56 tahun, termasuk yang jeli menangkap peluang kerinduan para pemburu masakan Sunda masa lampau. Bekas pemasok ikan di rumah-rumah makan di Jakarta ini menyulap restoran modernnya, yang berada di Jalan Trunojoyo Nomor 62, Bandung, menjadi restoran Nasi Bancakan pada 17 Oktober 2007.
Restoran itu khusus menyajikan masakan tradisional Sunda dengan racikan bumbu tempo doeloe. Penggunaan nama bancakan juga mengacu pada tradisi di tanah Sunda--juga Jawa--yang gemar meriung guna memasak dalam jumlah besar untuk sebuah hajatan.
Menu tutut menjadi salah satu andalan Nasi Bancakan. Sebelum diolah, tutut direndam dalam air semalaman. "Supaya bau amis dan lumpurnya hilang," kata Barna dengan logat Sunda yang kental.
Cara menyantap tutut pun punya sensasi sendiri. Kita harus mencungkil daging di dalam cangkang dengan menggunakan tusukan gigi agar semua daging tercerabut keluar. Saat menyeruput air di dalam cangkang itu, sesekali kita akan merasakan seperti menelan pasir halus. Tak usah risau, "pasir" itu adalah telur keong, yang tentu saja menambah nilai proteinnya.
Meski aroma serai dan kunyitnya tajam, bau apak sedikit terasa jika kita mengendusnya dalam-dalam. Toh, gangguan ini tak menyurutkan niat pengunjung, yang terlihat amat menikmati saat melahap menu ini. "Asyik aja mencopot daging dari cangkangnya," kata Qiqid, pengunjung restoran, yang mengaku datang dari Jakarta.
Tutut, yang dijual seporsi Rp 5.000, menjadi menu primadona pelanggan restoran itu. Menurut Barna, setiap hari restonya menghabiskan 50 kilogram tutut. "Nyarinya di Garut, Bandung, dan kampung-kampung yang ada kolamnya," ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Selain tutut, menu andalan lainnya adalah peda beuleum (ikan peda bakar). Menu ini juga merupakan menu tradisional Sunda yang sulit ditemui di restoran lain. Ikan peda asin dibakar terlebih dulu sebelum disajikan dengan cocolan sambal cabai rawit, bawang merah, jeruk nipis, dan sedikit minyak goreng. Jika disajikan panas dengan nasi liwet, kelezatannya tak terkira.
Semua menu disajikan dalam meja panjang. Prasmanan sederhana ini dimulai dengan nasi liwet dan timbel. Lalu pengunjung dihadapkan pada beragam lauk-pauk, di antaranya ayam kampung goreng, pindang ikan mas, semur jengkol, ikan asin, pepes tahu, sate, semur, tutut, peda beuleum, dan sambal goreng. Sayurannya: beberapa tumis seperti genjer, paria, tahu brokoli, dan waluh.
Bukan warung Sunda jika tak ada sayur asem. Resto ini meletakkan sajian itu di ujung meja panjangnya. Pengunjung bisa memesan dengan mangkuk kecil atau besar.
Tak hanya makanan "jadul" yang ditawarkan di Nasi Bancakan. Minuman lawas, seperti goyobod dan es lilin potong, juga disajikan di resto ini. Goyobod merupakan es cendol berisi cincau. Pengunjung juga bisa merasakan kue balok langsung dari tempat masaknya seharga seribu perak per potong.
Resto Nasi Bancakan memang menggunakan dapur terbuka. Pengunjung bisa langsung menyaksikan pengolahan masakan itu di tungku kayu besar. Desain interiornya pun disulap bergaya tempo dulu berupa bangku lama atau lesehan beralas tikar pandan. Bahkan piring dan gelasnya terbuat dari seng. "Keduanya saya datangkan dari Surabaya," kata Barna.
Menurut Barna, restorannya dalam sehari dikunjungi sekitar 1.500 orang. Pada siang hari, pengunjung bisa mengular antre makanan. Jika pengunjung datang kesiangan, beberapa menu ludes. "Makanan di sini murah dan enak," kata Widi, salah satu pelanggannya. Menurut dia, dengan uang Rp 15-20 ribu, pembeli sudah bisa merasakan seporsi nasi lengkap.
ISTIQOMATUL HAYATI| AKBAR TRI KURNIAWAN