TEMPO.CO, Jakarta - Sosok R.A. Kosasih, yang wafat dalam usia 93 tahun pada Rabu lalu, punya tempat tersendiri dalam jagat komik Nusantara. Ia pelopor sekaligus teladan bagi generasi yang lahir setelahnya. Karya-karyanya merupakan monumen yang bisa mendefinisikan identitas komik Indonesia dengan jelas.
“Almarhum merupakan komikus pertama yang meluncurkan karyanya dalam bentuk buku. Pantas jika dia didaulat sebagai Bapak Komik Indonesia,” ujar pengamat komik, Hikmat Darmawan.
Menurut Hikmat, karya-karya Kosasih punya karakter yang sangat kuat. Ia tidak hanya berhasil mengangkat tokoh-tokoh bermuatan lokal, tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai tradisi yang mengakar dalam masyarakat. Semua itu divisualisasi dalam panel-panel komik yang mudah dipahami.
“Dia seorang story teller yang baik. Semua karyanya selalu punya unsur lokal. Inovasi yang banyak ditinggalkan komikus sekarang,” ujarnya.
Sedikitnya ada 100 buku komik yang pernah dibuat Kosasih semasa hidupnya. Seluruh karyanya memiliki sejarah panjang yang merentang sejak 1953. Muncul dengan berbagai genre, seperti superhero, komik wayang, folklor, fiksi ilmiah, dan petualangan. Sebelum itu, pria yang lahir di Bogor pada 4 April 1919 itu mengambil posisi yang sama laiknya dengan para komikus yang lahir pada zamannya: bekerja sebagai komikus strip di koran-koran.
Pada masa-masa jayanya, sekitar 1960-1970, komik Kosasih mampu terjual puluhan ribu eksemplar per judul. Bahkan banyak di antaranya yang dicetak ulang. Buku serialnya yang pertama adalah Sri Asih, tokoh superhero wanita yang ia adopsi dari kisah Wonder Woman. Kosasih membuat serial Sri Asih sesuai dengan cerita-cerita lokal yang sedang populer saat itu. Misalnya edisi Sri Asih Vs Gerombolan, yang diilhami berita teror DI/TII yang saat itu ramai diberitakan.
Sukses dengan Sri Asih, Kosasih melanjutkannya dengan serial baru dengan tokoh bernama Siti Gahara. Perbedaan karakter antara Sri Asih dan Siti Gahara sebenarnya tidak terlalu banyak. Keduanya cantik, sakti, dan penolong kaum lemah. Bedanya, Sri Asih mengenakan kostum wayang Sunda, sedangkan Siti Gahara mengenakan celana Aladin dari kisah 1.001 Malam. Tidak lama, ia kembali mengenalkan tokoh superhero wanita yang lain lewat serial Sri Dewi.
Omzet yang diperoleh Kosasih dan sejumlah komikus lain sempat turun drastis saat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) menuding karyanya mencerminkan kebudayaan Barat. Sadar akan serangan itu, ia mencoba menandinginya dengan membuat komik-komik berdasarkan cerita klasik lokal, seperti Mundinglaya Dikusuma dan Ganesha Bangun. Ia pun mencoba menarik simpati pasar dengan melahirkan komik bergenre cerita pewayangan.
Namun idenya itu bukanlah tanpa hambatan. Pihak penerbit khawatir produk itu gagal diserap pasar lantaran wayang masih dianggap produk budaya yang sakral. Tapi penolakan itu tidak membuatnya putus asa. Ia mencoba mengomikkan Burisrawa Gandrung, sebuah kisah wayang yang dianggapnya tak berbelit-belit. Di luar dugaan, komik setebal 48 halaman itu laku keras. Maka mulailah Kosasih mengembangkan ide komik dari kisah klasik Mahabharata dan Ramayana.
Ketertarikannya dengan dunia komik berawal sejak kecil. Ia mengenang masa-masa saat masih sekolah di Inlands School, Bogor. Kala itu ia masih kelas I sekolah dasar. "Ketika masih kelas I SD, saya selalu menunggu ibu kembali dari pasar. Soalnya, bungkusan sayur-mayur belanjaan ibu biasanya potongan koran yang ada komiknya. Saya ambil bungkusan sayur itu, saya baca komik Tarzan, meski cuma sepotong-sepotong," katanya kepada wartawan Tempo, Leila Chudori, beberapa tahun lalu.
Bungsu dari tujuh bersaudara ini merupakan pengagum berat tokoh Gatotkaca, karena tokoh superhero ini bisa terbang. Karena itu, selain memburu komik potongan, Kosasih kecil rajin menonton bioskop dan wayang golek. Setelah lulus dari Inlands School, Kosasih melanjutkan pelajaran ke Hollandsch Inlands School (HIS) Pasundan. Di sanalah ia mulai tertarik pada seni menggambar secara formal. Saking getolnya, semua bukunya nyaris beralih fungsi menjadi buku gambar.
Tak bisa dimungkiri, perjalanan hidup Kosasih punya andil yang tidak kecil dalam sejarah komik Nusantara. Ia berhasil meninggalkan jejak emas yang memperkenalkan epik cerita pewayangan dalam panel komik yang sederhana lagi menghibur. Kini, dalam tidurnya yang damai, ia patut berbahagia. Ribuan atau mungkin jutaan pembaca komiknya di seantero Indonesia akan selalu mengenangnya dengan takzim. Selamat jalan, Pak....
RIKY FERDIANTO