TEMPO.CO, Yogyakarta - Dunia pendidikan di Indonesia saat ini kembali diwarnai dengan insiden tawuran antarpelajar. Perlu ditelisik kembali remaja yang saat ini berumur 14 tahun hingga 17 tahun ke masa 1.000 hari pertama umur mereka sejak dalam kandungan hingga lahir.
Pemenuhan nutrisi dan gizi anak sejak dalam kandungan menentukan kehidupan anak itu. Penelitian epidemiologis menunjukkan ada hubungan antara isu kesehatan jangka panjang dan gizi awal anak. Kelebihan atau kekurangan gizi pada masa kanak-kanak bisa mempengaruhi emosi. Juga di saat dewasa bisa mengidap obesitas (kegemukan), diabetes, penyakit jantung, darah tinggi, mudah emosi, dan lain-lain.
"Kalau saat ini remaja banyak yang terlibat tawuran, perlu dilihat kembali nutrisi pada 1.000 hari pertama umur mereka," kata Dr dr Saptawati Bardosono, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Yogyakarta, Minggu, 30 September 2012.
Bisa jadi, kata dia, para pelajar yang rata-rata berusia remaja itu terlibat dalam kasus perkelahian antarpelajar karena kurang mendapat nutrisi saat 1.000 hari pertama kehidupannya. Apalagi, pada 1998, terjadi krisis ekonomi. Sangat mungkin asupan gizi mereka saat itu kurang karena harga-harga kebutuhan melonjak drastis. Pada 1998 itu, para pelajar yang terlibat tawuran saat ini masih berusia antara 0-3 tahun.
Meskipun masih perlu didalami dan dilakukan penelitian yang lebih lagi, kekurangan gizi atau nutrisi saat krisis ekonomi itu sangat mungkin terjadi.
"Jika nutrisi pada 1.000 hari pertama umur anak tidak terpenuhi, akan terjadi gangguan fungsi otak. Secara kognitif, apa yang dipikirkan, dirasakan, diatur oleh otak. Jika fungsi otak bermasalah, perilaku juga bermasalah: emosional, cepat marah," kata dia.
Permasalahan nutrisi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak itu dibahas dalam simposium "The Importance of Early Life Nutrition to Support Long Term Health" di Yogyakarta, Sabtu kemarin, 29 September 2012. Acara itu diselenggarakan oleh Perhimpunan Nutrisi Indonesia, Fakultas Kedokteran UGM, dan didukung oleh PT Nutricia Indonesia Sejahtera.
Di Yogyakarta, pemenuhan gizi bagi anak termasuk bagus. Pada 2010, kota itu memiliki prevalensi gizi anak bawah lima tahun (balita) yang cukup baik dibandingkan dengan status gizi nasional. Khususnya prevalensi balita berat badan kurang, balita kurus, dan balita pendek.
Prevalensi berat badan kurang pada balita sebesar 11,2 persen, atau peringkat ketiga terbaik secara nasional. Balita kurus tercatat hanya 9,1 persen, ini paling rendah keempat secara nasional. Sedangkan prevalensi balita pendek mencapai 22,5 persen, yang merupakan kondisi paling rendah secara nasional.
"Data riset kesehatan dasar menunjukkan angka status gizi di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup baik dibandingkan rata-rata nasional," kata Profesor Dr Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD, Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UGM.
Ia menyatakan, meskipun prevalensi balita pendek masih tinggi, perlu upaya yang lebih untuk mengurangi angka prevalensi itu. Maka harus ada upaya terintegrasi untuk mencapai sasaran jangka panjang Gerakan Nasional Sadar Gizi yang sudah dicanangkan pada 2012 ini.
Direktur Medis Nutricia Indonesia Sejahtera Swissanto Soerojo menambahkan, inisiatif gerakan 1.000 hari pertama kehidupan merupakan salah satu contoh program yang memerlukan kemitraan sektor publik dan swasta.
"Untuk menemukan solusi yang holistik bagi permasalahan nutrisi anak, perlu ada kemitraan antara komunitas kesehatan masyarakat, swasta, dan pemerintah," kata dia.
MUH SYAIFULLAH
Berita Lainnya:
Apakah Para Jenderal Disiksa Seperti di Film G30S?
Film Pengkhianatan G30S Bikin Ayu Dewi Nangis
Penganan Superpremium
Pria Ini Spesialis Pencuri di Rumah Sakit
Ada Apa di Festival Kopi Malang?
Mengenal Penyakit Tropis di Indonesia
Buku Ini Harus Dibaca dalam Waktu 2 Bulan
Di Amerika, Bunuh Diri Penyebab Kematian No 1