Kini itasha bisa dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Mereka tergabung dalam komunitas Itasha Indonesia, yang sudah berdiri selama dua tahun dengan 170 anggota. Kebanyakan mereka adalah “Generasi Dragonball”. Di Indonesia, menurut Edwin, Jakarta masih menjadi pusat alam semesta para itasha. Dia dan Michael menemukan “rakyat”-nya di acara-acara cosplay. "Rata-rata otaku semua," kata Aji Muhardifan, anggota Itasha Indonesia.
Di negara asalnya, otaku sering dikaitkan dengan kecanggungan sosial dan gagal menjadi anggota masyarakat yang bisa bersosialisasi. "Di Jepang banyak otaku tidak terbuka tentang kegiatannya karena takut akan reaksi sosial. Di Indonesia justru bisa berbaur dengan yang lain," ujar Edwin.
Sebagai otaku, Aji senang bergabung dalam komunitas ini karena kegiatan dia dan rekan anggota lainnya relatif sama. Yang paling sering mereka lakukan adalah menonton anime. Setelah itu bermain video game atau berselancar di Internet dan forum tentang anime. “Tapi, yang pasti juga suka otomotif banget,” kata Aji.
Ketika mulai mengidentifikasi diri sebagai otaku, Aji mengaku bahwa hal yang membuatnya bergairah dalam hidupnya adalah Hatsune Miku, penyanyi virtual yang namanya kira-kira berarti “suara dari masa depan”. Hatsune adalah vocaloid atau program bernyanyi yang dirancang dengan komputer. "Dia cantik, seksi, bisa menari dan menyanyi," kata Aji, yang mendekorasi motor Honda CBR-nya dengan sosok Hatsune.
Karakter anime pada kendaraan mereka mewakili karakter pemiliknya. Edwin, misalkan, lebih tertarik kepada Black Rock Shooter. “Dia gadis polos yang gigih, kuat, dan pemberani," kata Edwin. BRS adalah alter ego dari Mato Kuroi, gadis yang ceria dan berusaha bergaul dengan siapa saja. Bila Mato menderita, keluarlah BRS, yang akan menanggung beban tersebut dan bertempur.
Edwin pernah mengalami penderitaan serupa. Dia pernah diperlakukan tidak adil ketika kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta. Ketika itu hasil ujiannya tidak diakui pihak kampus hanya gara-gara dia tidak membawa jas lab komputer. Padahal, "Peruntukan jas itu tidak jelas.”
Edwin dituduh tidak berniat kuliah oleh pihak kampus. Padahal nilai indeks prestasinya mencapai 3,9 dari skala 4 pada semester sebelumnya. Karena kesal, ia menendang pintu lab komputer itu hingga bolong dan memutuskan cabut dari kampus. "Sejak kejadian itu, peraturan diubah. Tidak ada kewajiban lagi memakai jas lab, karena tidak ada hubungannya dengan kemampuan komputer."
Untuk hobi menghias sepeda motornya itu, Edwin menghabiskan biaya Rp 1,9 juta untuk stikernya saja. Harga motornya sendiri di kisaran Rp 600 juta. Menurut Edwin dan Aji, proses pembuatan stiker itasha tidak jauh berbeda dengan stiker biasa. Biasanya toko bisa membuat stiker hingga seukuran bodi mobil. "Kalau satu mobil harga stikernya bisa Rp 7 jutaan," kata Edwin.
Sebelum dicetak, pembuat stiker akan mengukur dulu bagian yang hendak ditempeli stiker. Lalu hasil pengukuran tersebut dipindahkan ke komputer dan digabungkan dengan desain yang diinginkan pemiliknya.
Heru Triyono
Berita lain:
Jokowi Janjikan Eva Bande Bebas di Hari Ibu
4 Rencana Menteri Susi yang Berantakan
Gubernur FPI Pantang Ucap Selamat Natal ke Ahok