TEMPO.CO , Iowa:Di depan altar pasangan yang menikah selalu membuat janji sehidup semati, suka dan duka selalu bersama. Momen itu kemudian dilanjutkan dengan pasangan saling memasangkan cincin ke jari manis pasangan dan diakhiri dengan kecupan di dahi atau bibir kekasih.
Seberapa kuat janji ini dipertahankan oleh pasangan saat ditimpa sakit? Dari penelitian oleh Universitas Iowa sepanjang tahun 1992 hingga 2010 membuat jawaban yang mengejutkan. Dari 2.700 pasangan yang diteliti, disimpulkan bahwa kebanyakan suami memilih bercerai ketika istri menderita sakit.
Dari penelitian yang telah diterbitkan di jurnal Kesehatan dan Perilaku Sosial yang dilansir Daily Mail, 5 Maret 2015, suami beralasan sederhana menceraikan istrinya yang sakit : suami tidak sanggup mengatasi hidupnya dengan pasangan yang sakit.
Peneliti setiap dua tahun mewawancarai pasangan dan menanyakan apakah mereka mengalami sakit sejak pertemuan mereka sebelumnya. Hasilnya, selama 18 tahun penelitian digelar, 859 pernikahan berakhir dengan perceraian atau 32 persen dari pasangan yang diteliti.
Lalu 24 persen dari pasangan yang diteliti mengalami tragedi ketika pasangannya meninggal. Dan 44 persen bertahan hingga penelitian berakhir. Namun di antara 965 pasangan yang istrinya menderita sakit, angka perceraian lebih tinggi 6 persen.
Menurut asisten professor studi keluarga di Universitas Negeri Iowa,Amelia Karraker, penyakit memang menambah tekanan dalam pernikahan. Para pria tidak dapat menyesuaikan diri untuk segera mengambil alih peran istrinya. "Ini bedanya antara sakit untuk membuat makan malam dengan membutuhkan seseorang secara aktual untuk memberimu makan," ujarnya.
Para istripun tidak puas dengan kemampuan suaminya merawat dirinya saat sakit. "Pengalaman hidup atau mati mengakibatkan orang-orang mengevaluasi kembali hal penting dalam hidup mereka," ujar Karraker.
DAILY MAIL | MARIA RITA