Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan pasien TB rata-rata kehilangan 3-4 bulan waktu bekerja dan kehilangan sampai 30% pendapatan rumah tangga tahunan. Kerugian bagi negara jauh lebih besar lagi. Bank Dunia memperkirakan hilangnya produktivitas yang disebabkan TB adalah 4 sampai 7 persen dari PDB pada beberapa negara.
Hal itu merujuk pada, pertama, kerugian produktivitas akibat disabilitas. Selama masa penyembuhan, pasien TB mengalami keterbatasan aktivitas. Jika ia seorang pekerja, maka waktu untuk bekerja akan berkurang karena ia harus banyak beristirahat. Dalam jangka panjang, banyaknya angka disabilitas akan menimbulkan efek menurunnya mutu SDM suatu negara.
Kedua, kerugian produktivitas akibat kematian prematur. Kematian pasien TB menyebabkan pengeluaran negara untuk pengobatan gratis menjadi sia-sia. Negara juga akan kehilangan tenaga produktif karena tuberkulosis paru banyak terdapat di kalangan penduduk dengan kondisi sosial ekonomi rendah dan menyerang golongan usia produktif (15-54 tahun).
Direktur Copenhagen Consensus Center, Bjorn Lomborg menjelaskan keberhasilan dalam pengobatan TB telah melenyapkan penyakit itu di negara-negara maju. "Namun tetap menjadi penyakit bagi orang miskin yang membunuh sekitar 1,5 juta setiap tahunnya," kata Lomborg dalam seminar bertajuk ‘Agenda Pembangunan Paska-2015’ di Jakarta, akhir Maret lalu.
Risiko global kematian akibat TB telah berkurang lebih dari sepertiga selama dua puluh tahun terakhir. Sejak tahun 1995, kemajuan ini diperkirakan menyelamatkan 37 juta orang dari kematian. Namun, kata Lomborg dalam bukunya 'The Smartest Targets for The World 2016-2030', kemajuan itu terhambat oleh sistem kesehatan yang jelek, kemiskinan dan resistensi kuman TB. Apalagi anggaran untuk pemberantasan TB hanya 4% dari total bantuan pembangunan untuk kesehatan, dibandingkan 25% untuk penyakit HIV.