TEMPO.CO, Jakarta - Anda pernah merasa gugup saat diminta presentasi karena tak terbiasa berbicara di depan umum? Atau khawatir lantaran orang terkasih tak kunjung memberikan kabar?
Perasaan seperti itu merupakan hal lumrah. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Danardi Sasrosumiharjo, setiap orang bisa mengalami kecemasan atau anxiety. ”Terlebih dengan tekanan hidup di zaman sekarang,” ujarnya seperti ditulis Koran Tempo, Senin, 16 November 2015.
Cemas, Danardi melanjutkan, berbeda dengan takut. Bedanya ada pada sumber. ”Takut memiliki sumber yang jelas di depan mata, seperti berpapasan dengan harimau yang siap menerkam di hutan,” katanya. ”Tapi kalau cemas itu ketakutan dengan sesuatu yang tak jelas, seperti pasangan yang tidak kunjung pulang.”
Gejala cemas beragam, meliputi kecemasan terhadap masa depan, ketegangan motorik--contohnya berjalan mondar-mandir dan bicara berulang--serta over-aktivitas otonomik, seperti berkeringat dan pusing.
Penyebab kecemasan sendiri cenderung tak jelas. Secara garis besar, ada tiga penyebab, yaitu biologis, psiko-edukasi, dan sosio-kultural. Secara biologis, hormon dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan. Contohnya saat perempuan datang bulan, dia bisa lebih gampang marah dan sensitif. Penyakit otak dan gangguan neurotransmitter juga masuk kategori ini.
Baca Juga:
Sedangkan psiko-edukasi, misalnya kejadian yang pernah dialami sebelumnya, menyebabkan trauma, tekanan lingkungan, dan pola asuh orang tua. Anak yang dibesarkan oleh orang tua yang gampang cemas ada kemungkinan juga akan mengalami masalah serupa. Adapun sosial-kultural menyangkut norma yang dianut masyarakat, budaya, atau agama. Misalnya “pantangan” bagi perempuan didahului menikah oleh adik laki-lakinya dalam budaya Jawa.
Menurut dokter spesialis kesehatan jiwa, Andri, kecemasan sebenarnya manusiawi. Dalam banyak kasus, cemas justru memotivasi untuk mempersiapkan diri. Ketika akan maju presentasi di depan umum, contohnya, orang akan mempersiapkan diri agar tak malu saat di panggung.
Namun, dalam banyak kasus, kecemasan ini bisa menjadi tak tertangani. Bahkan saat masalahnya selesai. Ujungnya, bisa depresi. Efek lain meliputi jantung berdebar keras, sulit bernapas, dan asam lambung meningkat. Padahal tak ada masalah dengan fisiknya. "Banyak orang datang ke dokter dengan keluhan fisik, tapi setelah diperiksa, semuanya normal,” kata Andri lagi.
Andri mengatakan setiap orang punya cara sendiri mengatasi ketidaknyamanan ini. Kemampuan mengatasi kecemasan bisa dilatih dengan menerima kondisi secara lapang dada. Hal ini bisa dilakukan dengan mengenali diri terlebih dulu. "Kenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri," kata psikiater yang berpraktek di Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang, itu.
Pola hidup sehat dan rutin berolahraga juga bisa mengurangi tingkat kecemasan. Hormon endorfin yang meningkat dengan olah tubuh bisa membuat pikiran rileks. Kecemasan juga bisa dikurangi dengan bercerita kepada teman. Untuk sebagian orang, dengan didengarkan, separuh beban serasa hilang.
Namun jika terus mengeluh berkepanjangan, kata Andri, itu tanda bahwa jiwa tak kuat menanggung beban yang ada. Jika demikian, atau muncul keluhan fisik berkepanjangan, penderita perlu bantuan orang lain. Caranya, bisa berkonsultasi dengan psikolog ataupun psikiater. Mereka akan mencoba mengatasi rasa cemas pasien dengan mengobrol. Tapi jika konsultasi tak mampu membuat kondisi stabil atau pasien meminta, psikiater bisa memberikan obat. “Ini jika kondisi sudah parah,” ujar Andri.
NUR ALFIYAH