TEMPO.CO, Jakarta - Di balik bom Thamrin 14 Januari lalu, muncul pembahasan di media sosial tentang seragam keren polisi. “Fashion police,” begitu julukan netizen.
Lupakan seragam cokelat ketat dan topi lebar. Sekelompok polisi dari Reserse Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya itu mengenakan kaus polo biru dongker, pantalon kargo berwarna khaki, dan low top sneakers berwarna senada. Santai tapi tetap modis, layaknya eksekutif muda ngopi di kafe pada akhir pekan. Ditambah pistol teracung, banyak perempuan merasa menonton film aksi meski yang disaksikannya adalah berita di televisi.
Seragam tersebut merupakan bagian dari Turn Back Crime (TBC). Ini adalah program International Criminal Police Organization—juga dikenal dengan Interpol—untuk menggugah kesadaran masyarakat melawan kejahatan terorganisasi di sekeliling mereka. Di Indonesia, TBC diluncurkan pada akhir November lalu. Karena tujuannya merangkul warga kota, busananya pun “melebur” dengan lingkungan sekitar. “Menjaga penampilan ketika disorot publik itu penting untuk membangun citra polisi yang lebih baik,” kata Ajun Komisaris Besar Eko Hadi Santoso, Kepala Sub-Direktorat Reserse Mobil Polda Metro Jaya, seperti ditulis Koran Tempo, Kamis, 28 Januari 2016.
Eko mengatakan Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Krishna Murti hanya butuh dua hari untuk memutuskan seragam Turn Back Crime. Dia mempertahankan biru dongker yang identik dengan Interpol. Di bagian dada kanan, terpampang “Turn Back Crime”, di lengan kanan ada Merah Putih, dan bagian punggung terdapat tulisan “Polisi”. Adapun warna khaki dia anggap paling pas sebagai padanan kaus seragam tersebut. Urusan sepatu, bebas, selama memudahkan gerak. Kebanyakan petugas memilih sneakers dan boot berpotongan rendah. Ada juga yang lebih nyaman dengan sepatu lari.
Menurut Eko, paduan busana itu bukan seragam resmi. Penggunaannya sebatas olah tempat kejadian perkara, rekonstruksi, gelar perkara, dan temu media. “Tapi kalau pas pengejaran atau di lapangan, ya, enggaklah, pasti ketahuan sama penjahatnya,” tuturnya.
Krishna Murti mengatakan gaya busana anyar itu bertujuan mendekatkan polisi dengan masyarakat. Menurut dia, hanya kepolisian institusi yang saban hari bolak-balik tampil di media. “Kalau pengungkapan bagus, penampilan tidak bagus, akan percuma,” ujarnya, seperti ditulis Antara. “Jadi, keduanya harus bagus.”
Krishna, yang mengikuti pendidikan kepolisian di Amerika Serikat beberapa tahun lalu, mengatakan kinerja kepolisian Jakarta tidak kalah dibanding polisi di kota-kota besar dunia, seperti New York, Tokyo, London, dan Beijing, sehingga penampilan pun harus jempolan. Dia mengusung moto “Komandan keren sudah biasa. Tetapi anak buah lebih keren, itu luar biasa.”
DINI PRAMITA