Setelah sukses melakukan terapi pada tikus, pertengahan tahun lalu Machado dan timnya mendapat lampu hijau dari otoritas setempat untuk melakukannya pada manusia. Meski terapi fisik sudah semakin maju, masih banyak penderita stroke yang hidup dengan keterbatasan. “Fungsi motorik ada yang bisa kembali, tapi kerusakan otak tak bisa disembuhkan. Teknologi baru harus segera ditemukan,” ujarnya.
Slater adalah pasien pertama yang menjalani operasi ini. Begitu Slater menyatakan bersedia menjalani operasi, tim dokter di Cleveland Clinic langsung bekerja keras. Mereka menanamkan elektrode di otak yang berhubungan dengan bagian tubuh yang lumpuh. Elektrode itu dihubungkan melalui kabel ke baterai yang dipasang di bawah kulit dada. Bentuknya mirip alat pacu jantung. Rangsangan yang ditimbulkan oleh aliran listrik diharapkan dapat memicu proses penyembuhan pada otak.
Tiga pekan setelah menjalani operasi, Slater mengalami banyak kemajuan. Ia bisa mengangkat tangan kirinya setinggi bahu. Hanya, lantaran ini operasi otak, risiko perdarahan, infeksi, dan kegagalan penyembuhan setelah operasi kemungkinan sangat besar. Tim dokter pun terus memantau kondisi Slater. Terapi fisik tetap dijalani. Setelah tiga bulan, dokter akan mematikan elektrode tersebut untuk melihat apakah pengaruhnya tetap bertahan.
Meski sama-sama melakukan stimulasi terhadap bagian otak tertentu untuk penyembuhan disfungsi motorik, teknik deep brain stimulation, menurut Taruna, berbeda dengan metode optogenetik yang ia kembangkan. Sementara pada deep brain stimulation rangsangan dilakukan dengan memakai sinyal listrik, stimulasi pada optogenetik menggunakan cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Sel neuron sebelumnya dimodifikasi secara genetik agar sensitif terhadap cahaya.
Optogenetik bisa mengontrol sistem saraf dengan jalan mengaktifkan atau menonaktifkan gangguan fungsi otak. Nantinya, optogenetik pengontrol sistem saraf ini bisa digunakan dalam berbagai gangguan otak, seperti kecemasan kronis dan gangguan stres, parkinson, skizofrenia, epilepsi, alzheimer, dan cerebral palsy.
FIRMAN ATMAKUSUMA (TIME, DAILY MIRROR, BBC)
Baca juga :
Antraks Ternyata Lebih Mudah Menyerang Pria
Minum Obat Harus Tepat. Ini Penjelasannya