TEMPO.CO, Jakarta - Clive Staples Lewis dan Lewis Carroll menjadi inspirasi kedai teh Lewis & Carroll. C.S. Lewis merupakan penulis kisah terkenal The Chronicles of Narnia. Sedangkan Lewis Carroll adalah pengarang cerita legendaris Alice’s Adventures in Wonderland.
“Kebetulan dalam dua cerita itu ada tokoh yang berkaitan dengan teh,” ujar Edward Tirtanada, Direktur Lewis & Carroll, dua pekan lalu kepada Tempo. “Itu sebabnya semboyan kami it’s always tea time.”
Kedai di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi satu dari sedikit rumah teh di Ibu Kota. Mereka tidak setengah-setengah mewujudkan konsepnya. Ada suguhan 54 racikan teh. “Kami mendapatkan bahan baku teh lokal dari sejumlah perkebunan, lalu kami blend sendiri dengan beberapa bahan yang diimpor dari Jerman,” kata Edward.
Bahan itu termasuk campuran berupa buah-buah kering atau aromatik yang membikin racikan menjadi khas. Contohnya Pineapple Paradise, yang punya warna kekuningan dan aroma nanas, pepaya, mangga, serta buah tropis lainnya. Ada juga Essence of Eden, yang punya aroma apel Turki. “Jenis teh beraroma buah ini memang menjadi satu favorit yang banyak dicoba pengunjung,” ujar Edward.
Amanda Vebriyanti, misalnya, sengaja datang untuk mencoba Pineapple Paradise. “Rasanya segar dan ternyata takaran tehnya cukup banyak,” kata perempuan berusia 27 tahun ini. Untuk satu gelas teh signature seharga Rp 40 ribu dan disajikan dingin, Anda bisa mendapatkan kurang-lebih 500 mililiter. Kategori signaIture merupakan yang paling banyak tersedia. Selain itu, ada heritage tea dan legacy tea.
Khusus untuk legacy tea, mereka hanya punya satu jenis, yaitu pu ehr black tea yang berusia 17 tahun. “Teh itu punya sifat yang mirip anggur, semakin tua semakin pekat rasanya,” kata Edward. Teh ini bisa disajikan delapan kali seduh. “Kalau jenis teh biasa semakin tidak enak kalau diseduh berkali-kali, sebaliknya dengan jenis ini,” kata Edward. Itu sebabnya teh langka ini dibanderol Rp 300 ribu.
Untuk urusan desain tempat, Edward sengaja memilih konsep kafe modern Jepang. Pendekatan minimalis dan bersih menjadi perhatian utamanya. Langit-langit ruangan yang tinggi, meja-meja marmer, serta penggunaan banyak elemen kaca memang disengaja. “Saya memang suka dengan gaya modern kafe Jepang. Bahkan saya sampai beli bukunya,” tuturnya.
Walaupun teh menjadi jualan utamanya, Edward juga tidak mau asal-asalan menggarap menu masakan. Selain cemilan semacam Truffled Fries (kentang goreng dengan jamur truffle) ataupun Mashed Potato (kentang rebus dengan brokoli berlumur keju), mereka menyediakan menu all-day breakfast, sajian makanan utama, hingga dessert berupa Matcha Panna Cotta yang menjadi favorit banyak pengunjung.
Lewis & Carroll juga memandu para pengunjung dengan pilihan menu vegetarian. Tidak ada sajian yang mengandung babi di sana. Selain restoran, lantai dua dan tiga kedai teh di Jalan Bumi itu digunakan sebagai studio yoga. Bayangkan, betapa syahdunya ngeteh setelah badan dan pikiran Anda segar ditempat yoga.
Jika dibandingkan dengan rumah teh pendahulunya—sebut saja Tea Box, Rumate, ataupun Bradley’s British House Tea—Lewis & Carroll bisa dibilang menjadi pesaing yang paling serius. Ini sesuai dengan tekad Edward yang tidak mau asal-asalan. “Saya memang penggemar teh. Menurut saya, belum banyak orang yang mau serius menggarap ini,” ucapnya.
Belakangan, teh seperti kalah populer dibanding kopi. Di mana-mana dibuka kafe baru. Teh hanya nyempil di ujung buku menu mereka. Lewis & Carroll kembali mengangkat teh sebagai sajian utama, seperti saat Alice dijamu March Harre, Hatter, dan Dormouse di pesta teh dalam Alice’s Adventure in Wonderland.
SUBKHAN