TEMPO.CO, Jakarta – Psikolog Klinis Dewasa dari Tiga Generasi, Tiara Puspita, mengatakan pandangan misogynistic atau misoginis sudah berlangsung sangat lama dalam banyak budaya atau kepercayaan. Misoginis adalah pandangan negatif terhadap perempuan.
Sejak dulu, laki-laki memiliki peran berburu, berperang, melindungi keluarga, dan bekerja. “Sedangkan perempuan cenderung mengerjakan pekerjaan rumah, melahirkan, dan mengurus anak,” kata Tiara kepada Tempo, Sabtu, 14 Januari 2017.
Sejak dulu juga perempuan melakukan tugas-tugas dan aktivitas yang tak jauh dari urusan rumah tangga. Sedangkan pria dianggap sebagai pencari nafkah yang dapat menghidupi seluruh keluarga. “Sehingga kemudian muncul pandangan pria perlu dihormati dan diutamakan,” ujarnya.
Dalam beberapa kepercayaan, Tiara melanjutkan, perempuan sebagai istri memiliki kewajiban untuk menurut dan patuh kepada suami. “Dari pandangan budaya dan kepercayaan itulah akhirnya pandangan misogynistic dianggap hal wajar.”
Karena itu, banyak perempuan yang secara sadar maupun tidak sadar, terinternalisasi akan nilai tersebut dan menampilkan sikap penerimaan atau pasrah. “Menganggap hal tersebut adalah wajar,” ujarnya.
Baca Juga:
Sejak dini, perempuan banyak ditanamkan pandangan harus bersikap feminin dan mampu mengurus pekerjaan rumah agar kelak mudah mencari pasangan dan dapat menjadi istri yang baik. Selain itu, menurut Tiara, isu keperawanan masih dianggap penting karena, jika perempuan tidak perawan lagi, tidak akan dihargai oleh laki-laki.
Keperawanan adalah tanggung jawab perempuan untuk menjaga dirinya, khususnya karena laki-laki sulit menahan hasrat seksualnya. “Jadi, sebetulnya tidak hanya laki-laki yang mengalami, tapi perempuan juga bisa saja memiliki pandangan misogynistic,” kata Tiara.
AFRILIA SURYANIS