TEMPO.CO, Jakarta - Beasiswa sepertinya menjadi jalan keluar terbaik saat ingin mengapai pendidikan tertinggi tapi tak ada dana.
Dalam upaya mewujudkan mimpi setiap orang itu. Qooco, sebuah perusahaan teknologi pendidikan yang bergerak dalam pembelajaran bahasa, bekerja sama membantu siswa sekolah menengah di Asia. Qooco yang berkedudukan di Singapura, itu turut menyumbangkan dana beasiswa tahunan ke dalam program Yale Young Global Scholars (YYGS).
Beasiswa Yale Young Global Scholars-Qooco senilai total US$ 150.000(Rp 1,9M) akan membiayai seluruh biaya dalam program ini mencakup biaya pendidikan dan biaya transportasi. Negara-negara di Asia yang menjadi pilihan program beasiswa ini adalah Cina, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Myanmar.
CEO&Mobile Learning Evangelist Qooco, David Topolewski, menjelaskan kepada TEMPO.CO melalui e-mail visi dari program beasiswa ini, “Kami ingin mendorong siswa yang kurang mampu untuk berprestasi dalam usaha akademis mereka dan menunjukkan bahwa ada kemungkinan bagi mereka untuk memiliki kehidupan yang lebih nyaman melalui pendidikan tinggi jika mereka bekerja cukup keras.”
Baca juga:
Gabriel Garca Mrquez Khas Berkumis, Ini Fakta Menarik Kumis
Heboh Meninggal: Henry Cavill Masih Sehat, Ini Rahasianya
Oscar 2018, Ini Gaun Termahal Sepanjang Sejarah Oscar
David juga berharap bahwa pengalaman yang didapat melalui program ini akan memberi siswa terpilih ‘landasan’ awal secara profesional serta membantu mereka mencapai beberapa tujuan dari hidup mereka. siswa diharapkan dapat mengasah kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan fleksibel; terlibat secara produktif dengan beragam kelompok teman sebaya; mengeksplorasi ide baru dan menarik; bertemu dengan para ilmuwan dan praktisi terkemuka dan mengembangkan keterampilan komunikasi utama.
Bagi siswa yang ingin mengikuti beasiswa ini akan mengikuti serangkaian proses penyeleksian. Pertama, pihak YYGS akan mengidentifikasi pemenuhan syarat siswa yang memang membutuhkan dukungan finansial. Lalu, peserta akan diminta untuk memberikan beberapa dokumen penting dari wali sah peserta. Seperti surat keterangan dari wali sah peserta yang menyatakan posisi, gaji, tunjangan, dan masa kerja mereka, salinan formulir pajak penghasilan terbaru dari negara dimana wali sah peserta membayar pajak, dan sebagainya.
Namun, David nelanjutkan, siswa perlu menunjukkan tingkat kemahiran bahasa Inggris yang tinggi. Hal ini sangat penting, karena siswa harus dapat mengartikulasikan pemikiran mereka selama mengikuti program secara koheren dan akurat.
"Program ini memang sulit, namun sangat bermanfaat," ungkap David terkait kemungkinan kesulitan dari program beasiswa ini. Ia juga menjelaskan program beasiswa YYGS didukung oleh para ilmuwan yang telah memiliki pengalaman dalam mengatasi kejutan budaya dan mempelajari keterampilan serta kemampuan baru untuk memaksimalkan ajaran kepada peserta.
Lalu, dengan peserta yang tersebar dari berbagai negara, bagaimana pengelolaan perbedaan bahasa dan budaya bagi para peserta?
"Perbedaan budaya antara peserta dan siswa lain di kampus adalah pengalaman positif bagi mereka, karena menghadapkan mereka pada pendekatan yang berbeda untuk memecahkan masalah," katanya, dan David juga menjelaskan bahwa semua pemohon akan diberi serangkaian tes untuk menilai kemampuan bahasa Inggris mereka sebelum para finalis dipilih. Dari tes inilah para siswa akan dinilai terkait kemampuan mengartikulasikan pemikiran mereka dalam bahasa Inggris. Hasil tes ini juga yang akan membantu mereka saat mereka bersaing dengan talenta dari berbagai belahan dunia.
Tentu ada cerita menarik yang terjadi selama program, sehubungan dengan perbedaan bahasa dan budaya masing-masing peserta tersebut. Contohnya saat mengikuti Proyek Capstone, yang merupakan sesi pemecahan masalah tim yang diadakan selama kursus berlangsung.
Dalam proyek ini, para peserta diminta untuk bekerja sama dalam kelompok dan mengidentifikasi masalah dalam topik tertentu, melakukan penelitian latar belakang yang ketat, dan mengusulkan solusi yang berdampak kepada rekan dan instruktur mereka. Seorang siswa, Xiao Liang Cheng, memiliki rasa gugup untuk berinteraksi dengan orang lain sebelum pengalaman ini, namun setelah menghadiri Proyek Capstone, dia menjadi lebih terbuka.
Selain itu, penerima beasiswa dari Cina, Li Yanxiang, juga telah menemukan minat setelah mengikuti program ini, membuatnya semangat untuk mendalami dan mempraktikan ilmu filsafat. Para siswa juga menuliskan pengalaman mereka selama mengikuti program, termasuk saat mengendarai kereta bawah tanah, karaoke bersama, dan tentu saja mencicipi kuliner khas-nya.