Persoalannya, menurut Ketua Paguyuban Vaporizer Yogyakarta (Pavy) Robertus Bryan Alvano, 20 persen pelanggan vape di Yogyakarta adalah remaja. Meskipun vape diperuntukkan usia 18 tahun ke atas tidak menutup kemungkinan penjual tak menolak pembeli yang berusia 15 tahun. Sementara pelanggan terbanyak usia 18-20 tahun, kemudian 25-30 tahun.
“Mereka pilih vape bukan untuk mengambil manfaatnya ketimbang rokok. Tapi untuk gaya hidup,” kata Robertus.
Pilihan tren gaya hidup dengan vape itu mulai menjalar di Yogyakarta sejak 2016. Berbeda ketika vape baru masuk ke Kota Gudeg itu pada 2013 yang dipilih untuk diambil manfaatnya.
Pekerja meneteskan cairan rokok elektronik (vape) di Bandung, 7 November 2017. Pemerintah melalui Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan memastikan akan mengenakan cukai untuk cairan vape. ANTARA/M Agung Rajasa
Amaliya pun mengingatkan, bahwa tujuan penggunaan vape adalah untuk membantu perokok berat bisa menghentikan kebiasaan merokoknya secara bertahap.
“Jadi vape untuk perokok. Bukan untuk yang mau belajar merokok atau pemula,” kata Amaliya yang mentargetkan “no vaping no smoking” pada akhirnya.
Salah satu upaya untuk mencegah risiko berbahaya pada penggunaan produk tembakau alternatif, menurut pengamat hukum Universita Sahid Ariyo Bimmo diperlukan regulasi baru yang berbeda dengan pengaturan soal rokok. Seperti aturan pengenaan biaya cukai pada hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), termasuk vape mulai 1 Oktober 2018 lalu oleh pemerintah. Regulasi baru nantinya juga mengatur tentang produk, penjualan, promosi, iklan, sponshorship, serta tempat di mana produk tembakau alternatif bisa dikonsumsi. Termasuk pengaturan kadar kandungan zat dalam tembakau alternatif itu.
“Karena produk tembakau alternatif [seperti vape] lebih rendah risikonya ketimbang rokok, regulasinya pun seharusnya berbeda dan tak seketat rokok,” kata Ariyo.