TEMPO.CO, Jakarta - Kasus yang membawa nama Dedy Susanto memang sedang menjadi topik hangat. Pasalnya, ia mengaku sebagai seorang psikolog. Dedy juga aktif di Instagram dan Youtube dengan membagikan berbagai kata-kata motivasi dan kegiatannya sebagai psikolog.
Sayangnya, kejanggalan mulai muncul saat selebgram Revina VT mencurigai gelar dan tak terdaftarnya Dedy di Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Terlebih, Revita juga membongkar banyak kasus pelecehan seksual yang dikerjakan Dedy selama memberikan terapi pada pasiennya.
Terlepas dari benar dan tidaknya hal tersebut, calon pasien yang ingin melakukan terapi tentu perlu memilih psikolog yang benar. Bagaimana cara mengetahuinya?
Psikolog dari Universitas Indonesia, Rose Mini Agoes Salim, mengatakan bahwa psikolog yang melakukan terapi haruslah menempuh pendidikan profesi psikolog. Itu berarti, bukan sekedar sekolah strata satu, dua, atau tiga psikologi saja.
“Karena ilmu psikologi itu banyak sekali. Misalnya, psikologi sains tidak bisa disebut psikolog. Jadi, hanya yang mengambil profesi psikolog saja yang bisa memberi terapi,” katanya.
Menambahkan hal ini, psikiater di Smart Mind Center Rumah Sakit Gading Pluit, Andreas Kurniawan, menjelaskan bahwa terapi psikologi juga bisa dikerjakan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa atau psikiater.
“Sama seperti psikolog, psikiater juga mendapatkan pelajaran ilmu psikologi dan berhadapan langsung dengan pasien sehingga memiliki kapabilitas untuk memberi terapi,” katanya saat ditemui di Perpustakaan Pusat Jakarta pada Rabu, 19 Februari 2020.
Adapun, menurut Rose Mini, membuka praktek oleh para ahli untuk menjalankan terapi juga wajib memiliki izin dan terdaftar pada lembaga terkait.
“Memiliki SIP dan bergabung dalam asosiasi seperti HIMPSI penting karena kita bisa diawasi sehingga tidak melenceng dari kaidah ilmu yang dipelajari. Yang sudah mengikuti inilah yang sejatinya bisa memberikan terapi agar tepat di dalam jalur,” katanya.