TEMPO.CO, Jakarta - Jangan mudah terkecoh penipuan dan hoaks. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI, Usman Kansong, membagikan sejumlah kiat bagi masyarakat untuk menyaring dan menangkal hoaks serta disinformasi di ruang digital. Menurut Usman, salah satu manfaat orkestrasi dan narasi tunggal bisa dioptimalkan untuk mencegah penyebaran hoaks dan disinformasi di tengah masyarakat. Namun demikian, ia menilai masyarakat juga perlu membekali dengan keterampilan agar bisa selektif dalam menerima informasi lewat platform digital.
"Sebenarnya ada trik yang simpel bagi Sobatkom (Sobat Kominfo) untuk mengetahui informasi itu hoaks atau bukan. Kalau satu informasi itu istilahnya adalah too good to be true or too bad to be true," ujarnya.
Dirjen Usman menjelaskan pengertian too good to be true sebagai terlalu baik untuk benar. Sedangkan too bad to be true adalah terlalu buruk untuk benar. Menurutnya, dengan pemahaman seperti itu terhadap setiap informasi yang diterima, masyarakat perlu waspada.
"Itu mesti kita waspadai. Banyak contohnya, misalnya ketika ada orang memberikan bantuan jumlahnya sangat besar, kita patut curiga, itu too good to be true. Walaupun belum tentu kecurigaan itu terbukti, siapa tahu benar juga, tapi paling tidak alarm sudah berdiri," jelasnya.
Selain itu, ia menyebutkan cara lain untuk mengetahui informasi mengandung unsur hoaks ataupun disinformasi atau penipuan. Menurutnya ciri yang menonjol dapat dilihat melalui sebuah pesan singkat yang disebarkan.
"Kalau ada kata sebarkan, itu harus kita waspadai. Apalagi ditulis dengan huruf kapital semua, kita harus curigai itu. Jangan langsung sharing saja sebelum kita saring," ujarnya.
Menurut Usman, masyarakat juga dapat mengambil langkah lain seperti menelusuri kebenaran informasi melalui media resmi terpercaya atau mesin pencarian di internet.
"Kalau ternyata tidak ada yang memberitakan, berarti tidak benar. Tetap kita coba melakukan cek, ricek, dan kroscek itu kepada media mainstream karena menurut penelitian, tingkat kepercayaan terhadap media mainstream itu tinggi dibandingkan media sosial," tambahnya.
Baca juga: Tak Percaya Covid-19? Berarti Anda Termasuk Golongan Ini